Rabu, Juni 24, 2009

Feminsime versus Perkawinan



Apakah ideologi feminisme menolak perkawinan?

Memang sebagian feminis (terutama para penganut feminisme radikal) yang berpendapat bahwa perkawinan adalah sebuah institusi yang sering melakukan penindasan terhadap kaum perempuan. Terlebih undang-undang perkawinan (terutama yang beragama Islam) di Indonesia menyebutkan bahwa

 dalam perkawinan suami memiliki peran sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Hal ini berarti seorang suami harus menyokong kehidupan keluarga secara finansial dan seorang istri harus mengurusi rumah tangga. Dengan catatan sebatas kemampuan seorang suami. Seorang istri tidak selayaknya memprotes.
 Dalam perkawinan seorang suami memiliki peran sebagai pemimpin dan pembimbing keluarga dan istri menghormati serta mematuhi suami.
 Dalam perkawinan seorang suami melindungi istri dan anak-anak, sedangkan istri mengurusi rumah tangga.
 Dalam perkawinan seorang suami mencari solusi segala permasalahan yang muncul dalam keluarga dan seorang istri mendukung solusi suami serta mematuhinya.
 Dalam perkawinan seorang suami diharapkan untuk membantu pekerjaan istri dalam mengurusi rumah tangga.


Jika dilihat sekilas, apa yang tertera dalam surat kawin di atas nampak baik-baik saja. Namun jika memperhatikan lebih dalam dan membaca ‘between the lines’ atau yang tersirat, kita akan melihat ketidakseimbangan posisi perempuan dan laki-laki dalam perkawinan. Mari kita kupas satu per satu.

Poin pertama, ketentuan bahwa seorang laki-laki berperan sebagai pencari nafkah dan seorang perempuan sebagai ibu rumah tangga merupakan suatu penindasan. Penggunaan kata ‘sebatas kemampuan’ dalam pemberian nafkah kepada seorang istri, bisa menimbulkan kesempatan (dalam kesempitan) bagi kaum laki-laki untuk melakukan kekerasan secara finansial terhadap istri. Apalagi dengan iming-iming yang biasa diberikan oleh para ulama, “Perempuan yang saleha adalah perempuan yang menerima seberapa pun nafkah yang diberikan oleh sang suami. Untuk itu dia akan diberi hadiah surga.” Ditambah lagi kultur patriarki menyebarkan ‘doktrinasi’, “Perempuan yang cerdas dan baik adalah perempuan yang mampu mengelola keuangan keluarga dengan baik.”
Jika seorang laki-laki kebetulan tidak beruntung tidak mendapatkan nafkah yang cukup untuk diberikan kepada keluarga, sang istri harus memahaminya. Seorang istri yang saleha, baik, dan cerdas harus mengupayakan suatu cara bagaimana agar dapur tetap mengebul. Bagi mereka yang familiar dengan karya sastra, bisa mengacu ke drama yang berjudul A DOLL’S HOUSE karangan Henrik Ibsen, dimana Nora (yang pernah menjadi lugu) berusaha sekuat tenaga bagaimana dia harus mengelola keuangan keluarga.

Poin pertama ini sebenarnya bisa juga diinterpretasikan mengandung penindasan kepada kedua belah pihak—laki-laki dan perempuan. Mereka tidak bisa memilih peran yang mana yang lebih cocok. Jika mereka memilih sebaliknya (sang suami menjadi ‘househusband’ dan sang istri sebagai ‘breadwinner’), maka tak pelak masyarakat sekitar akan ‘menghukum’ mereka dengan label ‘tidak lazim’. Untuk tulisan khusus tentang ‘househusband’ bisa klik alamat
http://afeministblog.blogspot.com/search/label/househusband

Di era seperti sekarang dimana banyak perempuan yang memiliki kesempatan untuk memiliki karier yang bagus dan nafkah yang lebih dari cukup, mereka tetap mendapatkan ‘beban’ untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, karena surat kawin menyatakan begitu. Hal ini membuat beban seorang istri lebih besar.

Poin yang kedua menunjukkan penindasan yang cukup jelas. Kata siapa hanya laki-laki yang bisa menjadi pemimpin? Akan lebih baik dan bebas bias gender bila pernyataan itu diganti menjadi “dalam perkawinan suami dan istri memimpin dan membimbing anak-anak bersama-sama, dan saling menghormati. Pernyataan MENGHORMATI SATU SAMA LAIN hendaknya digarisbawahi sehingga tak ada satu pihak pun yang perlu merasa tertindas. Ada banyak kasus penindasan yang disebabkan oleh pernyataan, “seorang suami mencintai istrinya dan istrinya menghormati suaminya.” Salah satu kasus: seorang temanku mendapatkan komplain dari sang suami, “Kamu tidak menganggapku sebagai laki-laki lagi? Sehingga kamu tidak mau mendengarkan kata-kataku?” Sebuah kalimat yang bisa kita interpretasikan sebagai, “Kamu tidak menghormati aku lagi.” Kalimat yang sangat ‘tricky’ yang herannya sangat manjur untuk membuat temanku diam saja dan menyalahkan diri bahwa dia telah menjadi seorang perempuan yang tidak saleha dan tidak baik.

MENGHORMATI SATU SAMA LAIN bisa juga diterapkan pada poin yang ketiga. Jika seorang suami menghormati hak-hak istri—juga anak-anak—secara otomatis perlindungan terhadap istri dan anak-anak pun berlaku. Melakukan pekerjaan rumah tangga bersama-sama akan lebih terlihat indah dan romantis, daripada sang suami hanya memandang sang istri sibuk melakukan ini itu sambil berbisik, “Kamu memang diciptakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga sayangku. Sedangkan aku terlahir untuk memandang keindahan yang terwujud dalam dirimu tatkala melakukan pekerjaan rumah tangga.” Di Indonesia, dan juga masih berlaku di banyak negara lain, pekerjaan semacam memasak, mencuci pakaian, menyeterika, dan membersihkan rumah masih dianggap sebagai tanggung jawab perempuan di rumah.

Poin keempat sangatlah menindas hak-hak kaum perempuan. Tatkala menghadapi suatu permasalahan, bukankah sebaiknya suami dan istri berdiskusi bersama, menimbang keuntungan dan kekurangan bersama, kemudian mengambil keputusan bersama. Suami dan istri memilik hak yang sama untuk mengeluarkan pendapat mereka. Mengambil keputusan bersama dan melakukannya bersama untuk kebaikan bersama akan lebih indah dibandingkan jika sang suami yang mengambil keputusan kemudian sang istri mematuhinya. Tak ada pihak yang merasa tertindas.

Poin terakhir bagus. Namun, jika dihubungkan dengan poin yang pertama—bahwa istri memiliki peran sebagai pengurus rumah tangga, mengerjakan pekerjaan rumah tangga—banyak suami akan mengelak melakukan hal ini, dengan alasan, “Itu bukan tugasku sebagai suami.” Selain itu, pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin masih sangat kuat dalam kultur kita. Masih banyak orang yang menganggap seorang suami yang membantu pekerjaan rumah tangga sebagai suami yang mengagumkan.

Berdasarkan pemikiran yang tersebut di atas, sangatlah dimaklumi jika para pejuang perempuan menginginkan perubahan dalam dokumen surat kawin, agar lebih ‘women friendly’; agar lebih tercipta suasana yang kondusif dalam perkawinan.

Kembali pernyataan yang tertulis di awal artikel ini, perkawinan tidaklah selalu merupakan institusi yang melakukan penindasan kepada kaum perempuan, atau kepada kedua belah pihak—suami dan istri. Jika keduanya benar-benar saling menghormati—terlepas dari apa yang tertulis dalam surat kawin—tak akan ada satu pihak pun yang akan merasa tertindas. Bukanlah hal yang tidak mungkin bagi seorang perempuan feminis untuk menikah, apabila dia menemukan laki-laki yang feminis pula (dengan kata lain mendukung kesetaraan laki-laki dan perempuan).

Nana Podungge
Terjemahan dari artikel yang berjudul “Is feminism against marriage?” yang bisa diakses di http://afeministblog.blogspot.com/2007/05/is-feminism-against-marriage.html
PT56 20.02 230609

Quarrel among Couples


Beberapa minggu lalu aku sempat ngobrol dengan seorang teman. Dia bilang dia sedang kesal kepada suaminya yang membuat mereka bertengkar berlarut-larut. Aku kaget setelah tahu masalahnya sebenarnya (bagiku) sepele saja: apakah mereka perlu membeli korden jendela yang baru. Temanku bilang dia kepengen beli, mumpung ada korden dengan harga murah. Suaminya bilang, mereka tidak membutuhkan korden baru. Toh mereka merencanakan akan pindah ke tempat lain, kalau mereka mendapatkan tempat lain yang lebih representatif untuk tempat tinggal.

Berhubung sudah beberapa tahun aku menjomblo, sehingga tidak pernah terlibat pertengkaran-pertengkaran ‘sepele’ (namun bisa berakibat ‘besar’) antar suami istri, aku tidak melihat ‘keuntungan’ mengapa temanku dan suaminya harus bertengkar.

“Why don’t you just listen to him? Toh nanti kalian akan pindah? What’s the point of your being stubborn to buy that curtain?” tanyaku, heran. LOL.

“Nampaknya karena aku pengen ngeyel aja lah. To get his attention, probably.” Jawabnya, ringan. “Aku tahu dia yang benar. Tapi aku pengen beli korden itu, mumpung murah.” Katanya lagi.

Beberapa tahun lalu, seorang teman lain cerita kepadaku betapa dia kesal pada suaminya, karena sesuatu hal. Rasa kesal ini membuatnya enggan berkomunikasi pada suaminya. Dan hal ini merembet ke masalah tempat tidur. Dia enggan bercinta dengan suaminya, dan sok tidak menginginkannya.

Meskipun sekarang aku jomblo, aku pernah punya pengalaman serupa, sehingga aku beri dia saran untuk segera menyelesaikan permasalahan itu, dan tidak membiarkannya berlarut-larut.
“You two directly talk to each other about it. Be open with each other. Ga usah pakai sok gengsi siapa yang salah siapa yang benar. You had better not challenge yourself, ‘it is okay for me to get divorced.’”
Sok banget toh si Nana ini? LOL.

Waduh ... Nana nggosip. LOL.
Tapi aku yakin masalah yang nampaknya sepele dalam satu hubungan (apalagi dalam pernikahan), jika dibiarkan lama-lama bisa menjadi besar. Tatkala masalah-masalah sepele berakumulasi, suatu saat akan memuncak, dan bisa berakibat sangat fatal.

What’s the point of getting married if not to have a life partner? A soulmate? So, why should get involved in quarrel? Moreover in fight?
PT56 21.35 210609

Selasa, Juni 23, 2009

Nana Podungge on the Jakarta Globe

Nana Podungge on the Jakarta Globe

http://thejakartaglobe.com/lifeandtimes/blogging-in-english/313712

 

by Michelle Udem

 

Blogging In English

 

Michael Jubel Hutagalung, a Web designer based in Bandung, West Java, started Jubel and the Unessential, an English-language blog, primarily to improve his written English. The blog offers Hutagalung’s random musings on Indonesia’s politics and culture.

 

Within a year of Hutagalung starting the blog in October 2007, the traffic to the site was so high that it was exceeding the bandwidth limit on the platform he was using, and he had to move his blog to another host. The traffic explosion, mostly from Indonesians living abroad, gave him an incentive to do more than just improve his English skills.

 

“I want to tell the world what Indonesia’s really like — how the people really live,” Hutagalung said. But readers may not always get much on how Indonesians are living on an up-to-the-minute basis, or even about the day-to-day concerns of his countrymen.

 

Hutagalung last posted on Monday, after a two-month hiatus, filling readers in on his university plans and his personal debate in choosing between studying in London or the Netherlands.

 

The total number of Indonesian bloggers is difficult to quantify due to the constant deletion and activation of blog accounts. A top Indonesian-language blogger and internet publisher, Enda Nasution, says that Indonesia has about one million bloggers, based on blogger.com information, Wordpress information and blogs hosted personally — there are about 20 blogging communities in Indonesia, one in ever major city.

 

For Indonesians blogging in English, many are simply interested in trying to reach an audience beyond their own country and to give a perspective not available in the foreign media. Out of the 10 bloggers listed here, seven do not have a degree in English, nor have they studied abroad.

 

Budi Putra, a freelance writer and full-time, self-employed blogger living in Bintaro, South Jakarta, writes in English about new gadgets from an Indonesian perspective. Though many of his topics involve global technology news, he feels he provides a unique perspective as an Indonesian.

 

“My main demographic is both Indonesians and foreigners, especially those who love technology and digital life issues … Blogging is about conversation, so I want to talk to them through my blog. That’s why my blog’s tagline is ‘Talk With Me.’

 

Hutagalung and Putra’s blogs focus on specific topics, but the majority of the Indonesians bloggers writing in English are diarists, who post as the mood strikes.

 

Devi Girsang, a 22-year-old medical student born, raised and living in Jakarta, operates the site “It’s My Life,” last updated May 5. With a tagline, “Love & Tears. Laugh & Cry. Achievements & Regrets. Welcome To My Life!” Girsang’s blog ranges from discussions on everyday topics such as poor customer service to inquiries on why people do bad things.

 

Such topics written from an Indonesian perspective and in English help readers realize that people worldwide run into the same problems and share the same emotional inquiries.

 

In another blog, “Republikbabi,” 23-year-old Calvin Sidjaja from Bandung posts updates about growing up with a mixed heritage in Indonesia. On his blog, Sidjaja discusses the role of mixed heritage Indonesians, such as Dutch-Indonesians and Chinese-Indonesians. He delves into the history of mixed heritages in Indonesia and how society views these people today.

 

“Many international students were helped because of the personal essays [on my blog],” he said.

 

But the Internet is not always the safest place to express personal and sometimes controversial opinions.

 

Girsang has “been accused of being an ‘American-wannabe’ from an anonymous commenter,” and Sidjaja notices how any type of neutral post he writes on religion always causes controversy.

 

Regardless of the hate mail and negative feedback, the bloggers find that voicing their thoughts and opinions in English is beneficial. “Though difficult to write in English, I like challenges. I love the rhythm of English words. It’s more personal and subjective,” Budi Putra explains.

 

To these bloggers, writing in English is their key to communicating to the outside world as they find freedom in abandoning their own tongue for just a few moments a week or month.

 

“Bahasa can be so difficult because of the formality of the language. I can express myself more casually in English” Girsang said.

These ten English-language blogs appear in the top 50 Indonesian blogs tracked by Web site www.indonesiamatters.com

 

Three Popular Blogs Written by Expats Living in Indonesia:

 

These three blogs written by expatriates living in Indonesia are ranked in the top six on blogs.indonesiamatters.com.

 

1. Brandon Hoover

thejavajive.com/blog

Consisting of high-resolution photographs, Brandon Hoover’s blog takes a look at Indonesia’s natural beauty and his life here as an American. Aesthetically pleasing, Hoover’s blog illustrates how Indonesia has influenced his thoughts and photography. A fan of Indonesia, Hoover’s blog provides an American’s perspective on the joys of living in the country.

 

2. Jakartass

jakartass.blogspot.com

Jakartass, written by a Westerner living in Jakarta, consists of witty posts chronicling the life of an expatriate in Jakarta. Posts on the blog discuss local news as well as personal experiences illustrating quirks in Indonesian culture. Most recent posts discuss power cuts in Jakarta and a list of books by bloggers. Information on Indonesian acronyms and slang words are found on the sidebar of the blog.

 

3. Treespotter

Treespotter.blogspot.com

Treespotter is a personal blog containing posts mostly on daily life in Indonesia and current, local events. Posts include idiosyncrasies in Jakarta culture, such as how there is always a place to smoke. The personal posts are both entertaining and in depth, while the posts pertaining to politics are written from an outsider’s point of view.

 

 

Ten Blogs by Indonesians Who Are Writing in English:

 

These ten English-language blogs appear in the top 50 Indonesian blogs tracked by Web site www.indonesiamatters.com.

 

1. Michael Hutagalung

michaelhutagalung.com

Web designer Michael Hutagalung maintains a blog that consists of his personal perspectives, his design portfolio and discussions on Wordpress themes and Indonesian social issues. His blog offers readers the opportunity to learn about the Wordpress program as well as read an Indonesian perspective on the upcoming election.

 

2. Budi Putra

budiputra.com

Blogger Budi Putra of this self-titled blog provides commentary on local news and technology gadgets. Mixing local technological news, such as Indonesia’s launch of digital TV, Putra also updates readers on more esoteric news such as the discovery of Indonesian sea horses. Technologically-savvy Putra comments on how information from the upcoming election will be broadcast via SMS.

 

3. Devi Girsang

devigirsang.blogspot.com

Attracting both Jakartans and foreigners, Devi Girsang’s personal blog gives insight into the life of a young, Indonesian medical student. Girsang blogs on topics ranging from laptop malfunctions to bus-riding etiquette. Girsang’s blog gives expatriates the opportunity to observe a young Indonesian’s experiences, while peers can relate or rebut Girsang’s critiques of Jakarta culture and society.

 

4. Merlyna Lim

merlyna.org/blog

Blogging from her home in Arizona, Merlyna Lim’s blog focuses on her craft as an artist and her thoughts on both Indonesian and American issues. In between posts of her personal drawings and collages, Lim touches on local topics such as the construction of urban space in Bandung and internationally relatable topics such as inequalities within society.

 

5. Martin Manurung

martinmanurung.com

Martin Manurung’s self-titled blog covers topical news issues in Jakarta. Providing his own commentary and critique of social, economic and political topics, Manurung tries to counterbalance foreign media reports that he feels are often “misleading.” Straying away from gossip, Manurung’s blog gives foreigners an inside look from a local’s perspective.

 

6. Calvin Michel Sidjaja

republikbabi.com

Touching on sensitive topics such as his search for his family tree and being of mixed heritage, Calvin Sidjaja’s blog consists of posts on his personal life and experiences. Sidjaja’s Indonesian heritage is a main theme of his blog, a topic that many young adults can relate to.

 

7. Ecky

cisayong-girl.blogspot.com

Known on her blog as Ecky, the blogger writes from Australia. Though she mostly posts on personal subjects such as shower rituals and the perks of being a woman, Ecky also writes about the difficulties that come with change and leaving the comfort of her home country, Indonesia. Ecky also posts topical news from Jakarta, such as the upcoming election and President Obama’s effect on Indonesians.

 

8. Carla Ardrian

socialindividualist.blogspot.com

Blogging on various topics from gardening to photography, Carla Ardrian provides an Indonesian perspective on everyday things. Accommodating her Indonesian readers, Carla posts innovative recipes and political commentary, while foreigners may be more attracted to her travel and cultural tips. One of Carla’s posts comments on her experience of receiving incorrect directions as a tourist in Bali.

 

9. Nana Podungge

afeministblog.blogspot.com

Nana Podungge’s most recent post on her blog, “A Feminist Blog,” discusses the topic of religion. Podungge considers herself a secular Muslim. Her religious views are mixed with the other main focus of her blog, a woman’s role in society. A unique combination, Podungge’s blog provides insight into controversial topics.

 

10. Martha

mamahit.net/blog

“Frank and Martha’s Blog,” written by Martha, captures the life of a young family in Jakarta. Martha’s updates illustrate the charms shared by all families worldwide, such as receiving her first written letter from her elementary school-aged son. Chronicling the life of a mother, Martha shares her thoughts on baking experiences, the workplace and raising a young child.