Selasa, Oktober 04, 2022

HAK PEREMPUAN UNTUK BERBAHAGIA

 


Sekian abad perempuan telah dikungkung dalam kultur patriarki; bahkan hanya untuk sekedar mengukur kadar kebahagiaan seorang perempuan pun ditentukan oleh laki-laki. 

 

'Kesadaran' datang dari (sebagian) kaum perempuan di pertengahan abad ke19 di benua Eropa dan Amerika untuk merumuskan hak-hak perempuan. Perjuangan untuk menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan tentu saja berjalan alot dan butuh waktu lama karena yang memusuhi para feminist awal itu bukan hanya berasal dari kaum laki-laki saja yang tidak terima digugat oleh kaum perempuan, namun juga berasal dari sesama perempuan.

 

Hingga memasuki abad ke-21, masih banyak orang yang rela berjibaku untuk menentukan standar kebahagiaan seorang perempuan. Tidak hanya laki-laki yang merasa berhak untuk menentukan point-point penting apa yang harus dimiliki oleh seorang perempuan untuk mengklaim kebahagiaan, namun juga sekelompok perempuan merasa berhak menghakimi perempuan lain. Padahal tiap-tiap orang memiliki standar yang berbeda, bisa jadi juga tiap-tiap orang memegang prinsip kehidupan yang lain dari orang-orang di sekitarnya.

 

Biarkan masing-masing orang menentukan jalan hidupnya sendiri-sendiri untuk meraih kebahagiaan.

 

  1. Be single and happy. Bekerja untuk mencukupi hidupnya sendiri.
  2. Be in a relationship with someone and decide not to get married.
  3. Be married and a full housewife.
  4. Be married and work outside home, menggunakan uangnya untuk kepentingan sendiri, atau ikut membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga, tergantung kesepakatan bersama suami.
  5. Be married and work from home, mungkin membuka bisnis di rumah, membuka toko kelontong, menawarkan catering, membuka warung makan di rumah, dll
  6. Be married and be the only breadwinner; hal ini bisa melalui kesepakatan bersama -- bahwa sang suami akan menjadi 'househusband' -- atau mungkin karena satu dan lain hal sang suami kehilangan pekerjaan dan tak mendapatkan pekerjaan baru dalam kurun waktu yang cukup lama
  7. Be married in a polygamous marriage, entah sebagai istri pertama yang merelakan suaminya beristri lagi, atau menjadi istri kesekian dari seorang laki-laki, dengan alasan agar masuk surga, atau karena butuh security dalam keuangan atau yang lain.
  8. Be married and stay with the husband who cheats on her illegally, entah demi financial security atau yang lain.

 

Perempuan yang berada di posisi 7 dan 8 pasti memiliki alasan mereka sendiri untuk tetap bersikukuh dalam pernikahan yang mungkin bagi orang lain 'engga banget'. Mereka menciptakan takaran kebahagiaan berdasarkan apa yang mereka yakini. And who are we to judge?

 

 

Kamis, September 08, 2022

Mimpi Basah dan Menstruasi

 postingan ini merupakan lanjutan di link ini.



MIMPI BASAH versus MENSTRUASI


Tatkala sedang ramai-ramainya membahas mimpi basah, seorang mahasiswa asli Papua, yang biasanya menjadi pendengar setia (honestly, it is due to his limited vocabulary in English), tau-tau unjuk jari dan bercerita. Mungkin kali ini dia tak lagi setia dengan mottonya sebagai 'pendengar setia' atau dia 'bernafsu' ingin berbagi kisah, akhirnya dia memberanikan diri bercerita. He did it mostly in Bahasa Indonesia.

 

Konon, ayahnya bercerita kepadanya bahwa perempuan yang muncul di mimpi basahnya yang pertama adalah calon istrinya di masa yang akan datang. Itu sebab ketika ayahnya bertemu dengan ibunya, dia langsung mengenalinya, bahwa perempuan itulah yang akan menjadi istrinya di kemudian hari.

 

Sementara itu, di Papua orang-orang (ternyata masih) mempraktekkan mengasingkan perempuan yang mendapatkan menstruasi ke sebuah bangunan tersendiri, terpisah dari bangunan utama, tempat tinggal keluarga besar. (FYI, ceritanya tidak begitu jelas, apakah hanya selama menstruasi pertama, ataukah sampai menstruasi-menstruasi berikutnya.) Pada saat itu, dia akan ditemani oleh beberapa anggota keluarga perempuan lain. Konon, si perempuan yang baru pertama mendapatkan menstruasi ini, dalam pengasingannya, akan mendapatkan mimpi-mimpi dimana dia akan tahu laki-laki calon suaminya kelak, dan juga jenis profesi apa yang akan dia kerjakan ketika dia sudah dewasa. itulah sebabnya, ibunya pun konon langsung mengenali ayahnya sebagai laki-laki yang muncul dalam mimpinya pada waktu dia dalam pengasingan yang pertama kali.

 

Cerita ini membuat keningku berkerut karena mengingatkanku pada beberapa artikel yang kubaca tatkala melakukan riset untuk tesis. Di zaman dulu, orang-orang pun mempraktekkan hal yang sama, yakni mengasingkan perempuan yang sedang menstruasi ke sebuah bangunan terpencil, yang terpisah dari bangunan utama tempat keluarga besar tinggal bersama. Bukan karena 'agar si perempuan mendapatkan mimpi yang akan memberitahunya tentang calon suami maupun profesi yang akan dia kerjakan', tapi karena PEREMPUAN DIANGGAP MAKHLUK ANEH YANG TIBA-TIBA MENGELUARKAN DARAH DARI DALAM TUBUHNYA.

 

Pada zaman kedokteran belum secanggih sekarang, organ-organ dalam tubuh manusia dianggap sebagai suatu misteri yang maha dahsyat. Orang-orang zaman dulu tidak mengerti mengapa perempuan tiba-tiba mengeluarkan darah tiap bulan; sama tidak mengertinya ketika tiba-tiba perut perempuan menggelembung, dan pada hitungan sembilan bulan tahu-tahu dari vagina perempuan keluarlah manusia mini. Konon, itu sebabnya muncullah istilah 'nenek sihir' karena perempuan dianggap main sihir.

 

Praktek pengasingan perempuan tatkala menstruasi disebabkan oleh kebencian kepada perempuan. Itu sebab aku ga begitu yakin pada pemaparan mahasiswaku itu (agar mendapatkan mimpi tentang calon suami dan profesi?). Tapi mungkin saja beda tempat beda kultur. Masih ada banyak praktek lain yang tentu merugikan kaum perempuan yang dilakukan oleh masyarakat zaman dahulu kala karena ketidaktahuan mereka tentang banyak hal. Salah satu buku yang saya baca saat melakukan riset untuk menulis tesis adalah "Women's Madness: misogyny or mental illness?" karya Jane M. Usher.

 

Para mahasiswa menjadi terdiam membisu mendengar pemaparanku. Si mahasiswa dari Papua itu memandangku dengan sorot mata yang tidak bisa kujelaskan, mungkin dia tidak rela tatkala kukatakan bahwa pengasingan terhadap perempuan yang sedang menstruasi itu dilandasi karena kecurigaan terhadap perempuan sebagai ahli sihir.

 

PT28 20.52 160610

Senin, April 25, 2022

Change Your Perspective: Join Student Exchange

 Versi terjemahan dari tulisan saya di link ini.




Satu tulisan lama saya, 14 tahun lalu, tentang seorang siswa SMA yang mendapatkan pencerahan setelah ikut 'student exchange', tinggal di Norway, satu negara yang penduduknya konon 85% atheist. Sementara Erik, nama siswa itu, berasal dari sebuah keluarga Muslim yang sangat relijius. Menurut saya, tulisan ini layak saya share mengikuti topik radikalisme versus fundamentalisme. Erik ini berubah cukup radikal, dari seseorang yang menganggap atheism adalah satu isme yang orang-orangnya pasti hidup tanpa keteraturan karena mereka tidak memiliki pegangan hidup -- baca agama/Tuhan. Setelah tinggal selama satu tahun di Norway, cara pandangnya berubah 180%. Harapan saya, dia mampu mengajak orang-orang yang hidup di sekitarnya turut mengubah cara pandangnya.
 

*********************

 
Hari Sabtu 19 Juli 2008 saya diajak Yayasan Bina Antar Budaya Chapter Semarang untuk ikut menghadiri acara ‘farewell and welcoming’. ‘Farewell’ berarti melepas siswa-siswa terpilih untuk berangkat keluar negeri, sedangkan ‘welcoming’ berarti menyambut para siswa yang telah menghabiskan sekian waktu (bervariasi dari 2 bulan hingga satu tahun) di luar negeri. Acara ini diselenggarakan di Bandungan, tidak jauh dari kota Semarang. Dalam perjalanan menuju Bandungan, saya bersama Erik, satu siswa yang baru pulang dari Norwegia; Leo, seorang volunteer, menyetir mobilnya, sementara mendengarkan saya ngobrol dengan Erik, sambil kadang ikut mengajukan pertanyaan ke Erik atau memberi respons.
 
Dari sekian banyak pertanyaan, saya bertanya satu hal yang cukup krusial: agama.
 
“Bagaimana kehidupan relijiusitas di Norwegia, Erik?”
 
Ternyata Erik sangat antusias menjawab pertanyaan saya itu. “Kalau tidak salah, 85% penduduk Norwegia itu atheist, Miss.” Jawabnya. 
 
Kemudian dia berkisah …
 
Ayahnya yang bekerja di Departemen Agama semula keberatan dia berangkat ke Norwegia. Sebenarnya Erik sendiri sedikit menyesal karena dia berharap dikirim ke Amerika, namun ternyata dia ‘mendapatkan’ Norwegia. Mengetahui bahwa sebagian besar penduduk Norwegia atheist, orangtuanya khawatir jika sepulang dari sana, Erik pun ketularan. Maka, mereka mengajak Erik berkunjung ke satu saudara jauh yang kebetulan adalah seorang ulama, yang bisa meramal apa yang akan terjadi di masa datang. Untungnya, si ulama ini memberi lampu hijau untuk Erik berangkat.
 
“Jujur saja, saya seperti ditampar ketika orangtua angkat saya di Norwegia bilang, ‘Erik, kamu Muslim karena kamu lahir di Indonesia. Kami disini ‘non-believers’ karena kami lahir di Norwegia. Kami yakin jika kamu lahir dan besar di Norwegia, kamu pun akan menjadi seperti kami: non-believer. Demikian juga jika kami lahir dan besar di Indonesia, kemungkinan besar kami pun akan menjadi Muslim karena di Indonesia, Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh rakyatnya.”
 
“Pengalaman saya yang seorang Muslim relijius di tengah-tengah orang ‘non believer’ mengajari saya sesuatu yang berkebalikan dari apa yang dulu saya percaya: “Orang atheist bukan criminal. Apa yang dikatakan oleh orang-orang bahwa para atheist memiliki kehidupan yang kacau karena kehidupan mereka tidak ditata ajaran agama – missal shalat lima kali sehari – jelas bukan gambaran yang benar. Kehidupan mereka baik-baik saja, dan mereka orang-orang yang baik. Orangtua angkat saya tidak mengenal saya sama sekali sebelum saya sampai disana, namun mereka merawat saya dengan sangat baik, seolah-olah saya adalah anak mereka sendiri. Tidak mengenal Tuhan dalam kehidupan mereka tidak berarti bahwa mereka adalah orang yang tidak punya hati. Saya telah belajar tentang satu hal yang benar-benar berbeda dari apa yang dulu diajarkan guru-guru agama saya.”
 
Saya berharap bahwa siswa-siwa lain lagi yang dikirim keluar negeri bersama Erik (semuanya dari satu pondok pesantren di Sukoharjo) mengalami hal yang mirip dengan Erik dan kemudian mendapatkan perspektif baru tentang relijiusitas.
 
 
Semarang, July 2008
(saya terjemahkan hari Senin 25 April 2022