Sabtu, November 28, 2020

Brainwashing

 


Di satu grup 'telegram' yang saya ikuti, seorang perempuan curhat bahwa dia memiliki pandangan yang berbeda dari suaminya tentang satu ormas yang tidak perlu saya sebut namanya. Tatkala sang ketua ormas itu minggat ke satu negara di Timur Tengah, 'persengketaan' perempuan ini dengan sang suami menurun drastis, meski dia masih kadang memergoki sang suami membaca buku-buku yang meneguhkan pandangannya pada ormas satu itu sebagai satu kebenaran tunggal.

 

 

Tatkala sang ketua yang berbadan besar itu (akhirnya) kembali ke Indonesia, perseteruan suami istri ini kembali memanas. Si istri berkeyakinan bahwa mudah untuk memilah pemuka agama yang sesungguhnya dengan yang hanya mengaku-ngaku saja, yaitu dari apa yang dia katakan. Jika yang dia katakan merugikan orang lain, bahkan cenderung merusak masyarakat, ya berarti dia hanya mengaku-ngaku saja. "Bahkan anak saya jauh lebih mudah diberi pemahaman ketimbang ayahnya."

 

 

Perseteruan ini akhirnya membuat suami istri ini berpisah rumah. Sang istri yang sudah tidak tahan dengan perilaku sang suami mengajak anaknya untuk pergi meninggalkan sang suami yang kembali 'gila' setelah sang ketua berbadan besar (juga bermulut besar) kembali.

 

 

Hal ini mengingatkan saya pada seorang eks siswa saya, sekitar 12 tahun yang lalu. Saya punya seorang siswa yang nampak ogah-ogahan jika berangkat sekolah. Dia hampir tidak pernah datang ke sekolah on time. Setiap pagi selalu ada drama dimana sang ibu harus merayu sang anak untuk berangkat sekolah. Dia selalu ketinggalan mata pelajaran yang pertama.

 

 

Di sekolah si anak yang biasa duduk di barisan paling depan, di sisi paling kiri selalu sibuk menggambar, nampak tidak peduli sang guru sedang menjelaskan tentang sesuatu, meski sebenarnya telinganya mendengarkan dengan seksama. Lebih sering diam, tidak banyak bicara pada yang lain, dan sama sekali bukan seseorang yang troublesome, hanya ya itu tadi, dia susah diajak berangkat sekolah tepat waktu, dan selalu diam nyaris sepanjang hari.

 

 

Satu kali ketika ada agenda parent-teacher interview, sang ibu curhat. Anaknya itu dulunya ceria, sociable hingga satu kali dia dimasukkan ke satu sekolah yang berbasis agama. Dia yang sejak kecil diajarkan untuk selalu beragama dengan baik, bertutur sapa dengan sopan, berbagai rezeki pada yang kurang dengan ikhlas memiliki pandangan bahwa semua orang yang hidupnya berdasarkan pada agama adalah sebaik-baik manusia, di sekolah itu melihat sesuatu yang bertolak belakang dari apa yang dia yakini. Dia tidak melihat guru yang sabar ketika melihat ada siswa yang mungkin kedapatan sedang ngobrol: sang guru melempar entah penghapus entah apa ke kawannya. Dia melihat orang-orang yang di matanya seharusnya memberi contoh bagaimana menjadi manusia yang baik karena memahami agama dengan semestinya ternyata jauh dari apa yang dia bayangkan. Dan hal ini membuatnya stress berat.

 

 

Dia tidak mau berangkat sekolah selama nyaris satu tahun. Setelah dipindah ke sekolah dimana saya menjadi salah satu guru dia mau berangkat sekolah, meski tidak pernah datang on time, meski selalu ada hari dimana dia tidak masuk dalam satu minggu. Meskipun begitu, itu sudah termasuk peningkatan bagi orangtuanya karena si bocah (waktu saya jadi wali kelas dia duduk di kelas 10) mau berangkat sekolah setelah mogok sekolah selama hampir satu tahun di sekolah sebelumnya.

 

 

Mungkin dia bukan satu-satunya orang yang mengalami hal ini. Pertanyaan saya hanyalah: jika seorang anak yang masih berusia belasan tahun saja bisa mengerti bahwa orang yang mengerti agama seharusnya orang yang welas asih kepada yang lain, mengapa orang-orang tua itu justru begitu beringas pada yang lain, meski mereka berafiliasi pada ormas berbasis agama?

 

 

PT56 08.47  25/11/2020

 

Selasa, Oktober 27, 2020

Wali Nikah

 


Di satu grup alumni yang saya ikuti, ada dua tulisan yang berhubungan dengan 'wali nikah'.

 

 

Yang pertama ditulis oleh seorang perempuan. Sebut saja namanya N. N dan ibunya ditinggal oleh ayahnya sejak dia masih berada dalam kandungan ibunya, satu hal yang meninggalkan luka yang begitu dalam pada sang ibu. 2 tahun setelah resmi bercerai, sang ibu menikah lagi. Kali ini, ibu dan anak 'beruntung' karena laki-laki yang menjadi 'bapak sambung' menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Meski bisa dikatakan cukup berbahagia di pernikahan yang kedua, sang ibu tidak mengizinkan anaknya untuk menemui ayahnya karena luka masa lalu yang terlalu dalam.

 

 

Saat N akan menikah, mau tidak mau akhirnya sang ibu membiarkan N menemui ayahnya. Dengan ditemani bapak 'sambung' N menemui ayah biologisnya untuk memintanya menjadi wali nikah. Adalah satu keberkahan karena kedua laki-laki ini bisa berkomunikasi dengan baik. Sang bapak sambung yang telah merawat dan membesarkan N dengan hati besar melihat laki-laki lain yang telah menyakiti hati istrinya begitu dalam di waktu yang dulu menikahkan anak perempuan yang pastinya dia sayangi sepenuh hati.

 

 

Setelah pernikahan ini, N menjaga silaturahmi dengan ayah biologisnya dengan baik. Dia tidak menyebut apakah sang ibu membiarkannya melakukan ini karena toh N sudah dewasa -- sudah menikah -- atau akhirnya sang ibu menyadari bahwa no matter what, N berhak bertemu dengan ayahnya. Konon, 'time heals all wounds'. Mungkin setelah pernikahan N, luka hati sang ibu pun luruh.

 

 

Tulisan yang pertama ini memicu seseorang lain menulis kisah yang mirip. Kisah pertama ditulis oleh si anak perempuan, kisah kedua ditulis oleh sang 'ayah sambung'. Dia mengasuh seorang bayi perempuan yang semula diasuh oleh mertuanya. Ibu si bayi meninggal saat si bayi berumur 1,5 tahun. Sang ayah yang seorang pelaut, semula menyempatkan diri menengok tiap 3 bulan. Namun, 2 tahun kemudian setelah menikah lagi, ga pernah muncul lagi.

 

 

Y -- sang ayah sambung -- menyayangi dan membesarkan bayi perempuan itu dengan sepenuh hati. Saat si bayi perempuan menjelma dewasa dan akan menikah, Y sangat berharap bisa menikahkan si anak ini. Namun, ternyata harapannya tidak mudah menjadi kenyataan. KUA memintanya untuk mencari sang ayah biologis anak angkatnya setelah tahu bahwa masih ada kemungkinan ayah kandung si anak masih hidup dan bisa dihubungi.

 

 

Dalam perjalanan menjadi dewasa, si anak angkat ternyata pernah berusaha untuk menemui ayah biologisnya. Satu kali dia berangkat ke Surabaya setelah janjian untuk bertemu ayahnya. Namun ternyata, sang ayah tidak menepati janji. Rindu sang anak terhadap sang ayah biologis hanya bertepuk sebelah tangan.

 

 

******

 

 

Sekian tahun lalu, saya membaca beberapa artikel di JURNAL PEREMPUAN membahas hal ini. Mengapa seorang anak perempuan butuh ayahnya untuk menjadi wali nikah? Di zaman dahulu kala, kita semua tahu hanya laki-laki yang diperbolehkan keluar rumah untuk bersekolah, perempuan hanya tinggal di rumah. Karena dianggap lebih 'berpendidikan' (dibanding perempuan) seorang laki-laki (dalam hal ini sang ayah) dianggap lebih mampu untuk menganalisis apakah seorang laki-laki dipandang cukup mumpuni untuk menikahi seorang anak perempuan (dibandingkan sang ibu).

 

 

Hal inilah yang menjadi salah satu pijakan interpretasi ayat Alquran mengapa seorang perempuan membutuhkan ayahnya untuk menjadi wali. Bagaimana dengan ayah sambung/tiri/angkat? Mungkin seorang ayah non biologis dianggap tidak begitu memiliki ikatan emosional sebagus ayah biologis karena darah yang mengalir di tubuh anak + ayah tidak sama. Padahal kita tahu bahwa tidak semua laki-laki memiliki rasa tanggung jawab yang sama. Ada laki-laki yang hanya hobi melepas sperma tanpa perlu merasa tanggung jawab; ada laki-laki yang seperti Y atau ayah sambung N (dua kisah di atas) yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi meski sang anak bukan anak biologis.

 

 

Di zaman sekarang, telah banyak perempuan yang memiliki pendidikan tinggi, yang mampu menggunakan nalar untuk menilai hal-hal yang layak dan tidak layak dia lakukan. Dalam mazhab Hanafi, ada interpretasi bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi pun layak menjadi wali dirinya sendiri. Maka, seorang perempuan pun berhak menikah tanpa perlu menghadirkan sang ayah biologis, apalagi jika sang ayah telah terlalu lama menelantarkan sang anak.

 

 

Akankah ada re-interpretasi 'rukun nikah menurut agama Islam' di Indonesia?

 

 

PT56 13.51 27 Oktober 2020

 

Rabu, September 30, 2020

Urban Mobility Plan Kota Semarang

 

Konsultasi Publik III

Urban Mobility Plan

Rencana Aksi dan Implementasi

 

 


Hari Senin 29 September 2020 saya dan Arif Daeng menghadiri acara yang bertajuk "Konsultasi Publik III Urban Mobility Plan Rencana Aksi dan Implementasi" yang diselenggarakan di Hotel Novotel pukul 12.00 - 16.30. Kami berdua mewakili komunitas sepeda kota Semarang.

  

Berdasarkan visi misi kota Semarang, yakni "Kota Semarang Kota Perdagangan dan Jasa yang Hebat Menuju Masyarakat Semakin Sejahtera", Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang tahun 2011 - 2031 meliputi

  

1.     Mewujudkan kehidupan masyarakat yang berbudaya dan berkualitas

2.     Mewujudkan pemerintahan yang semakin handal dalam meningkatkan layanan publik

3.     Mewujudkan kota metropolitan yang dinamis dan berwawasan lingkungan

4.     Memperkuat ekonomi kerakyatan berbasis keunggulan lokal dan membangun iklim usaha yang kondusif

 

 Hasil skenario komitmen kebijakan transportasi berkelanjutan bisa dibaca di bawah ini:

 

1.     Perbaikan layanan angkutan umum ke simpul-simpul utama transportasi

2.     Pembangunan infrastruktur dan simpul angkutan barang dengan kapasitas yang memadai untuk menjamin ketahanan warga kota

3.     Perbaikan kinerja dan kualitas jalan arteri primer dan sekunder

4.     Pengembangan jalan lingkar luar, tengah, dan dalam

5.     Pembangunan fasilitas dan kawasan transportasi tidak bermotor

6.     Pembangunan Intelligent Transport System

7.     Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi

8.     Meningkatkan pangsa penggunaan angkutan umum menjadi 20% pada tahun 2030

9.     Penurunan polusi transportasi melalui pembangunan sistem transportasi rendah karbon

10.      Peningkatan keselamatan jalan

  


Dari pembahasan sekian strategi dan target Urban Mobility Plan, saya akan melaporkan yang paling penting diketahui oleh kawan-kawan pesepeda.

  

Rencana aksi fisik untuk strategi kendaraan tidak bermotor yaitu

 

1.     Peningkatan fasilitas trotoar dan penyeberangan di jalan arteri dan kolektor dalam kota

2.     Perbaikan akses pejalan kaki dan pesepeda pada simpul-simpul angkutan massal

3.     Pengembangan satu kawasan Transportasi Tidak Bermotor baru (selain seperti 'rahasia umum' yakni area Kota Lama)

4.     Pengembangan jaringan fasilitas pesepeda di koridor angkutan massal

 

 UMP merencanakan akan dibangun jalur khusus sejauh 12,8 kilometer untuk BRT dari Simpang Ngaliyan sampai Simpang Sukarno Hatta. Jalur sepeda direncanakan juga disediakan berdampingan dengan jalur khusus untuk BRT ini. Seperti kita tahu area Krapyak memiliki badan jalan yang sangat lebar sehingga bisa dibagi untuk jalur khusus BRT dan jalur sepeda.

 


Berita menggembirakan dari pihak Trans Semarang yakni mereka akan mengeluarkan peraturan yang jelas bahwa sepeda lipat boleh dibawa naik bus Trans Semarang, terutama jika bus dalam kondisi tidak penuh penumpang. Seperti yang kita tahu selama ini, ada kawan-kawan pesepeda yang 'beruntung' bisa naik BRT dengan membawa sepeda lipat, sedangkan ada juga kawan-kawan yang ditolak. Pihak Trans Semarang berdalih bahwa belum semua petugas di lapangan tahu peraturan baru bahwa SEKARANG sepeda lipat boleh dibawa naik BRT.

  

(FYI, sekitar 3/4 tahun lalu saya dan Tami menghadiri Forum Group Discussion yang membahas hal ini juga, pihak dishub propinsi membolehkan sepeda lipat dibawa masuk BRT, namun dishub kota melarang, dengan alasan BRT yang menjadi angkutan massal primadona sering penuh dengan penumpang jadi sudah menyediakan ruang untuk mereka yang membawa sepeda lipat.)

 

Untuk sementara ini, masih sepeda lipat yang bisa dibawa naik BRT, sepeda jenis lain belum bisa.

 

 Ketika membahas jalur sepeda, UMP sudah merencanakan seperti yang saya tulis di paragraf atas, yakni dibangun bersamaan dengan jalur khusus untuk BRT. Saya mencoba menyatakan bahwa jalur sepeda yang benar-benar aman dan nyaman untuk pesepeda kebanyakan (bukan pembalap ya) misal para bike-to-worker adalah seperti yang di beberapa dekade lalu kita kenal sebagai 'slow lane' alias jalur lambat, yang terpisah dari fast lane alias jalur cepat. Jika ada target di tahun 2030 penggunaan angkutan massal akan mencapai 20% dari total perjalanan orang, dan cakupan layanan angkutan umum mencapai 80% dari luas wilayah kota, pemerintah bisa mengeluarkan peraturan agar kian banyak warga beralih ke angkutan massal, maka jalan raya tidak akan dipenuhi kendaraan pribadi sehingga mengurangi kepenuhan jalan raya atas kendaraan pribadi yang mungkin bahan bakarnya tidak ramah lingkungan.

  

Perwakilan dari Kasatlantas menyatakan bahwa pihak Satlantas telah melakukan kajian menyediakan jalur sepeda di sekitar Simpanglima, Jalan Gajahmada, Jl. Depok, Jalan Pemuda (dari Paragon sampai Tugumuda), Tugumuda, Jalan Pandanaran.

 

Demikianlah point-point yang bisa saya laporkan. Terima kasih.

 

Nana Podungge

Ketua B2W Semarang

 

PT56 21.58 30 September 2020

 

Minggu, Agustus 30, 2020

Pesepeda dan Jalan Raya

 


Jalan raya tidak aman buat pesepeda?

 

Di pertengahan dekade 1980-an, sebelum Ayahku membelikanku sebuah sepeda motor, kadang aku jalan kaki ketika pulang sekolah. Jarak dari sekolah SMA N 3 ke rumah (Puspanjolo Tengah) mungkin sekitar 2 kilometer. Ini bukan karena orangtuaku tidak memberi uang untuk naik angkutan umum, tapi aku menabung uang transport untuk membeli perangko. Aku punya beberapa kawan pena yang membuatku butuh membeli perangko, amplop, dan kertas surat.

 

Aku tidak berjalan pulang sendirian. Ada beberapa kawan yang menemaniku berjalan; satu yang paling aku ingat, namanya Dwi Maryanti, tinggalnya di Puspanjolo Selatan. Tidak ada trotoar yang selebar sekarang di jalan Pemuda, tapi ada slow lane yang terpisah dari fast lane, jadi kita merasa cukup aman berjalan sambil ngobrol sepanjang jalan. Yang lewat slow lane, paling-paling sepeda atau becak yang akan membunyikan bel jika mereka berada di belakang kita dan meminta kita untuk minggir.

 

Setelah naik kelas 2 SMA, aku mulai naik motor kemana-mana, tapi jelas slow lane masih ada.

 

Aku lupa mulai kapan slow lane menghilang di jalan-jalan utama kota Semarang. Aku yakin penyebabnya tentu kian banyak kendaraan bermotor yang lewat di jalan raya. Semua jalan adalah fast lane. Lalu para pejalan kaki dan pesepeda lewat mana? Jika beruntung ada trotoar, para pejalan kaki bisa berjalan di atas trotoar dengan kondisi seadanya. Pesepeda ya jadi satu dengan kendaraan bermotor, melaju di fast lane. Saat jumlah kendaraan bermotor belum sebanyak sekarang, masih lumayan aman lah.

 

Tahun 2010, Bike 2 Work Semarang berinisiatif mengadakan talk show tentang JALUR SEPEDA, untuk mendesak pemerintah kota untuk menyediakan fasilitas untuk pesepeda. Saat talk show inilah, (sebagian dari) kita baru 'ngeh' untuk membuat daftar jalan-jalan mana saja yang masih memiliki slow lane; meski dalam kenyataannya slow lane ini tidak benar-benar dipakai untuk pesepeda/tukang becak. Selain karena kondisinya tidak sebagus fast lane, sebagian besar slow lane dipakai untuk tempat parkir, terutama di jalan-jalan yang ada toko berderet-deret; misal Jl. MT Haryono dan Jl. Indraprasta.

 

*******

 

Seorang sobat sepeda pernah bercerita sekitar satu dekade lalu jika dia berangkat bekerja lewat Jl. Majapahit daerah Pedurungan, dari arah Timur, biasa berbondong-bondong para pesepeda (mungkin dari area Mranggen dan sekitarnya) masuk Semarang. Mereka ini kebanyakan pekerja pabrik. Kata sobat ini, para pesepeda ini datang bak air bah, memenuhi jalan raya, baik yang sesuai arah, maupun yang contra flow.

 

Sekarang? Entah karena kondisi ekonomi para pekerja ini meningkat, atau sekarang membeli sepeda motor semudah membalikkan telapak tangan, 'kebiasaan berbondong-bondong memasuki Semarang ini masih sama, namun sekarang mereka naik sepeda motor. Kondisi traffic pun malah kian kisruh dibandingkan ketika mereka naik sepeda.

 

*******

 

Sekitar 2-3 bulan lalu sepeda mendadak menjadi primadona di tengah masyarakat -- orang berbondong-bondong membeli sepeda, kemudian berbondong-bondong memenuhi jalan raya. Bisa aku katakan mereka ini 'newbie' sepedaan, meski mungkin dua-tiga dekade lalu mereka juga bersepeda. Mereka (mungkin) berpikir bahwa kondisi jalan raya masih sama seperti 2-3 dekade lalu dimana sepeda masih dianggap sebagai satu jenis kendaraan yang tidak wajib mengikuti peraturan lalu lintas, misal harus berhenti di traffic light saat lampu merah; bahwa sepeda boleh melaju berjajar hingga nyaris memenuhi badan jalan. Jika jumlah kendaraan bermotor tidak sebanyak 2-3 dekade lalu (sepeda motor bisa jadi masih dianggap satu kendaraan yang belum semua orang mampu beli), mungkin tidak akan begitu mempengaruhi traffic. Namun, saat hanya dengan uang limaratus ribu rupiah saja orang bisa membawa sebuah sepeda motor pulang ke rumah, bayangkan betapa sesaknya jalan raya dengan kendaraan bermotor.

 

Dan saat sepeda-sepeda itu membuat jalan raya penuh, dengan mudah orang menyalahkan sepeda sebagai biang kerok kacaunya traffic. Tak hanya itu, mereka pun berpikir bahwa jalan raya tidak aman untuk melintas para pesepeda hingga para pesepeda sebaiknya dilarang melaju di jalan raya. Mereka lupa bahwa awal mula sepeda ditemukan untuk moda transportasi, bukan untuk alat olahraga apalagi untuk rekreasi.

 

Mengambil analogi bahwa ruang publik itu tidak aman untuk perempuan sehingga mereka harus dikurung dalam rumah. Ini sama dengan berpikiran bahwa jalan raya itu tidak aman untuk pesepeda sehingga mereka hanya boleh melaju di dalam perumahan.

 

*******

 

Disini, 'komunitas'  BIKE TO WORK INDONESIA memiliki daya tawar kepada pemerintah untuk mengeluarkan UNDANG-UNDANG untuk melindungi para pesepeda. Seluruh warga negara berhak meminta perlindungan dari pemerintah bukan? Yang memanfaatkan sepeda sebagai moda transportasi bukan hanya datang dari masyarakat kelas menengah, namun juga dari kelas atas dan bawah. Warga negara yang hanya mampu mengeluarkan uang maksimal seratus ribu rupiah demi sebuah sepeda yang layak pakai, agar mereka bisa 'mobile' kemana saja tanpa harus membeli BBM, hingga warga negara yang mampu membeli sepeda (lipat) harga puluhan juta rupiah ada yang memilih bersepeda ke tempat mereka beraktifitas sebagai satu lifestyle yang sehat. Mereka layak mendapat perlindungan; negara WAJIB melindungi mereka dari ganasnya jalan raya.

 

Setelah B2W Indonesia 'terjun' ke masyarakat dan mengajak komunikasi pihak yang memiliki otoritas -- pemerintah -- UU lalu lintas no 22 tahun 2009 menyertakan beberapa ayat yang melindungi pesepeda.

 

Pasal 62 ayat (1) pemerintah harus memberikan kemudahan berlalulintas bagi pesepeda.

Pasal 62 ayat (2) pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.

Pasal 106 ayat (2) setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda.

Pasal 122 ayat (3) Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan beriringan harus memberikan ruang yang cukup bagi kendaraan lain untuk mendahului.

 

LAJUR SEPEDA

 

Ide menyediakan lajur sepeda sudah mengemuka sejak sekitar 10 tahun yang lalu. Beberapa kota pun telah menyediakan lajur ini. Sayangnya yang dimaksud sebagai 'lajur sepeda' disini hanyalah 'menggambari permukaan jalan dengan tulisan LAJUR SEPEDA dan gambar sepeda, dan pemanfaatan yang tidak maksimal: membuat pesepeda benar-benar aman dari senggolan kendaraan bermotor. Tidak hanya itu, keberadaan LAJUR SEPEDA ini nampaknya hanya sekedar 'mulut manis' semata karena pada prakteknya, sebagian lajur sepeda itu justru dipakai untuk tempat parkir dan tidak ada tindak lanjut dari pihak yang berwenang untuk mengawasi hal ini.

 

Bukankah sebaiknya mengembalikan kondisi jalan raya seperti dua hingga tiga dekade lalu, memiliki slow lane -- untuk melaju sepeda, atau becak, atau mungkin jika masih ada dokar/andong -- dan fast lane untuk kendaraan bermotor. Slow lane yang tidak hanya sebagian ruas jalan yang permukaannya digambari sepeda dan tulisan LAJUR SEPEDA namun ada pemisah antara fast lane dan slow lane.

 

Jalan raya akan lebih sempit?

 

Apa boleh buat? Masyarakat memiliki pilihan untuk terus menggunakan kendaraan bermotor, kendaraan non motor, atau angkutan umum. Hal ini mudah jika pemerintah memang sungguh-sungguh ingin mengurangi polusi dan ketergantungan pada BBM. Pemerintah tidak perlu susah-susah memikirkan transportasi untuk warga negara yang bisa mereka gunakan setelah meninggalkan rumah hingga mereka mencapai halte angkutan umum terdekat jika angkutan umum dibuat ramah untuk sepeda.

 

Sekian saat lalu viral foto yang membandingkan kondisi satu jalan di Amsterdam; di dekade tujuhpuluhan jalan itu penuh dengan mobil, namun di dekade 2000-an, jalan itu penuh dengan sepeda. Nampak jelas pemerintah Belanda telah berhasil membuat masyarakat beralih ke sepeda (dan angkutan umum) dari kendaraan bermotor.

 

Jangan beralasan "bersepeda di Amsterdam enak, hawanya tidak sepanas di Indonesia." aku pernah melihat foto orang-orang Belanda bersepeda di musim salju, kebayang susahnya melebihi bersepeda di musim kemarau di Indonesia loh. Toh, mereka juga tetap bersepeda kok.

 

 

Aku menyimpulkan tulisan ini menjadi: jalan raya bisa menjadi area aman untuk semua pengguna -- pejalan kaki, pesepeda, maupun mereka yang naik kendaraan bermotor -- jika kita semua menyadari hak dan kewajiban masing-masing. Area perumahan pun bisa menjadi area yang berbahaya untuk pejalan kaki dan pesepeda jika para pengguna jalan tidak mau menghormati hak-hak orang lain.

 

 

PT56 14.41 30-Agustus-2020