Jalan raya tidak
aman buat pesepeda?
Di pertengahan
dekade 1980-an, sebelum Ayahku membelikanku sebuah sepeda motor, kadang aku
jalan kaki ketika pulang sekolah. Jarak dari sekolah SMA N 3 ke rumah
(Puspanjolo Tengah) mungkin sekitar 2 kilometer. Ini bukan karena orangtuaku
tidak memberi uang untuk naik angkutan umum, tapi aku menabung uang transport
untuk membeli perangko. Aku punya beberapa kawan pena yang membuatku butuh
membeli perangko, amplop, dan kertas surat.
Aku tidak berjalan
pulang sendirian. Ada beberapa kawan yang menemaniku berjalan; satu yang paling
aku ingat, namanya Dwi Maryanti, tinggalnya di Puspanjolo Selatan. Tidak ada
trotoar yang selebar sekarang di jalan Pemuda, tapi ada slow lane yang terpisah
dari fast lane, jadi kita merasa cukup aman berjalan sambil ngobrol sepanjang
jalan. Yang lewat slow lane, paling-paling sepeda atau becak yang akan
membunyikan bel jika mereka berada di belakang kita dan meminta kita untuk
minggir.
Setelah naik kelas 2
SMA, aku mulai naik motor kemana-mana, tapi jelas slow lane masih ada.
Aku lupa mulai kapan
slow lane menghilang di jalan-jalan utama kota Semarang. Aku yakin penyebabnya
tentu kian banyak kendaraan bermotor yang lewat di jalan raya. Semua jalan
adalah fast lane. Lalu para pejalan kaki dan pesepeda lewat mana? Jika beruntung
ada trotoar, para pejalan kaki bisa berjalan di atas trotoar dengan kondisi
seadanya. Pesepeda ya jadi satu dengan kendaraan bermotor, melaju di fast lane.
Saat jumlah kendaraan bermotor belum sebanyak sekarang, masih lumayan aman lah.
Tahun 2010, Bike 2 Work Semarang berinisiatif
mengadakan talk show tentang JALUR SEPEDA, untuk mendesak pemerintah kota untuk
menyediakan fasilitas untuk pesepeda. Saat talk show inilah, (sebagian dari)
kita baru 'ngeh' untuk membuat daftar jalan-jalan mana saja yang masih memiliki
slow lane; meski dalam kenyataannya slow lane ini tidak benar-benar dipakai
untuk pesepeda/tukang becak. Selain karena kondisinya tidak sebagus fast lane,
sebagian besar slow lane dipakai untuk tempat parkir, terutama di jalan-jalan
yang ada toko berderet-deret; misal Jl. MT Haryono dan Jl. Indraprasta.
*******
Seorang sobat sepeda
pernah bercerita sekitar satu dekade lalu jika dia berangkat bekerja lewat Jl.
Majapahit daerah Pedurungan, dari arah Timur, biasa berbondong-bondong para
pesepeda (mungkin dari area Mranggen dan sekitarnya) masuk Semarang. Mereka ini
kebanyakan pekerja pabrik. Kata sobat ini, para pesepeda ini datang bak air
bah, memenuhi jalan raya, baik yang sesuai arah, maupun yang contra flow.
Sekarang? Entah
karena kondisi ekonomi para pekerja ini meningkat, atau sekarang membeli sepeda
motor semudah membalikkan telapak tangan, 'kebiasaan berbondong-bondong
memasuki Semarang ini masih sama, namun sekarang mereka naik sepeda motor.
Kondisi traffic pun malah kian kisruh dibandingkan ketika mereka naik sepeda.
*******
Sekitar 2-3 bulan
lalu sepeda mendadak menjadi primadona di tengah masyarakat -- orang
berbondong-bondong membeli sepeda, kemudian berbondong-bondong memenuhi jalan
raya. Bisa aku katakan mereka ini 'newbie' sepedaan, meski mungkin dua-tiga
dekade lalu mereka juga bersepeda. Mereka (mungkin) berpikir bahwa kondisi
jalan raya masih sama seperti 2-3 dekade lalu dimana sepeda masih dianggap
sebagai satu jenis kendaraan yang tidak wajib mengikuti peraturan lalu lintas,
misal harus berhenti di traffic light saat lampu merah; bahwa sepeda boleh
melaju berjajar hingga nyaris memenuhi badan jalan. Jika jumlah kendaraan
bermotor tidak sebanyak 2-3 dekade lalu (sepeda motor bisa jadi masih dianggap
satu kendaraan yang belum semua orang mampu beli), mungkin tidak akan begitu
mempengaruhi traffic. Namun, saat hanya dengan uang limaratus ribu rupiah saja
orang bisa membawa sebuah sepeda motor pulang ke rumah, bayangkan betapa
sesaknya jalan raya dengan kendaraan bermotor.
Dan saat
sepeda-sepeda itu membuat jalan raya penuh, dengan mudah orang menyalahkan
sepeda sebagai biang kerok kacaunya traffic. Tak hanya itu, mereka pun berpikir
bahwa jalan raya tidak aman untuk melintas para pesepeda hingga para pesepeda
sebaiknya dilarang melaju di jalan raya. Mereka lupa bahwa awal mula sepeda
ditemukan untuk moda transportasi, bukan untuk alat olahraga apalagi untuk
rekreasi.
Mengambil analogi
bahwa ruang publik itu tidak aman untuk perempuan sehingga mereka harus
dikurung dalam rumah. Ini sama dengan berpikiran bahwa jalan raya itu tidak
aman untuk pesepeda sehingga mereka hanya boleh melaju di dalam perumahan.
*******
Disini,
'komunitas' BIKE TO WORK INDONESIA
memiliki daya tawar kepada pemerintah untuk mengeluarkan UNDANG-UNDANG untuk
melindungi para pesepeda. Seluruh warga negara berhak meminta perlindungan dari
pemerintah bukan? Yang memanfaatkan sepeda sebagai moda transportasi bukan
hanya datang dari masyarakat kelas menengah, namun juga dari kelas atas dan
bawah. Warga negara yang hanya mampu mengeluarkan uang maksimal seratus ribu
rupiah demi sebuah sepeda yang layak pakai, agar mereka bisa 'mobile' kemana
saja tanpa harus membeli BBM, hingga warga negara yang mampu membeli sepeda
(lipat) harga puluhan juta rupiah ada yang memilih bersepeda ke tempat mereka
beraktifitas sebagai satu lifestyle yang sehat. Mereka layak mendapat
perlindungan; negara WAJIB melindungi mereka dari ganasnya jalan raya.
Setelah B2W
Indonesia 'terjun' ke masyarakat dan mengajak komunikasi pihak yang memiliki
otoritas -- pemerintah -- UU lalu lintas no 22 tahun 2009 menyertakan beberapa
ayat yang melindungi pesepeda.
Pasal 62
ayat (1) pemerintah harus memberikan kemudahan berlalulintas bagi pesepeda.
Pasal 62
ayat (2) pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.
Pasal 106
ayat (2) setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib
mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda.
Pasal 122
ayat (3) Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan beriringan harus
memberikan ruang yang cukup bagi kendaraan lain untuk mendahului.
LAJUR SEPEDA
Ide menyediakan
lajur sepeda sudah mengemuka sejak sekitar 10 tahun yang lalu. Beberapa kota
pun telah menyediakan lajur ini. Sayangnya yang dimaksud sebagai 'lajur sepeda'
disini hanyalah 'menggambari permukaan jalan dengan tulisan LAJUR SEPEDA dan
gambar sepeda, dan pemanfaatan yang tidak maksimal: membuat pesepeda
benar-benar aman dari senggolan kendaraan bermotor. Tidak hanya itu, keberadaan
LAJUR SEPEDA ini nampaknya hanya sekedar 'mulut manis' semata karena pada
prakteknya, sebagian lajur sepeda itu justru dipakai untuk tempat parkir dan
tidak ada tindak lanjut dari pihak yang berwenang untuk mengawasi hal ini.
Bukankah sebaiknya
mengembalikan kondisi jalan raya seperti dua hingga tiga dekade lalu, memiliki
slow lane -- untuk melaju sepeda, atau becak, atau mungkin jika masih ada
dokar/andong -- dan fast lane untuk kendaraan bermotor. Slow lane yang tidak
hanya sebagian ruas jalan yang permukaannya digambari sepeda dan tulisan LAJUR
SEPEDA namun ada pemisah antara fast lane dan slow lane.
Jalan raya akan
lebih sempit?
Apa boleh buat?
Masyarakat memiliki pilihan untuk terus menggunakan kendaraan bermotor,
kendaraan non motor, atau angkutan umum. Hal ini mudah jika pemerintah memang
sungguh-sungguh ingin mengurangi polusi dan ketergantungan pada BBM. Pemerintah
tidak perlu susah-susah memikirkan transportasi untuk warga negara yang bisa
mereka gunakan setelah meninggalkan rumah hingga mereka mencapai halte angkutan
umum terdekat jika angkutan umum dibuat ramah untuk sepeda.
Sekian saat lalu
viral foto yang membandingkan kondisi satu jalan di Amsterdam; di dekade
tujuhpuluhan jalan itu penuh dengan mobil, namun di dekade 2000-an, jalan itu
penuh dengan sepeda. Nampak jelas pemerintah Belanda telah berhasil membuat
masyarakat beralih ke sepeda (dan angkutan umum) dari kendaraan bermotor.
Jangan beralasan
"bersepeda di Amsterdam enak, hawanya tidak sepanas di Indonesia."
aku pernah melihat foto orang-orang Belanda bersepeda di musim salju, kebayang
susahnya melebihi bersepeda di musim kemarau di Indonesia loh. Toh, mereka juga
tetap bersepeda kok.
Aku menyimpulkan
tulisan ini menjadi: jalan raya bisa menjadi
area aman untuk semua pengguna -- pejalan kaki, pesepeda, maupun mereka yang
naik kendaraan bermotor -- jika kita semua menyadari hak dan kewajiban
masing-masing. Area perumahan pun bisa menjadi area yang berbahaya untuk
pejalan kaki dan pesepeda jika para pengguna jalan tidak mau menghormati
hak-hak orang lain.
PT56 14.41
30-Agustus-2020