JALAN
RAYA : MILIK SIAPA?
JALUR
SEPEDA DI KOTA SEMARANG
Dengan semakin semaraknya jalan raya dengan para pesepeda,
dan juga rasa ‘iri’ terhadap beberapa kota lain di Indonesia yang telah
memiliki jalur sepeda, di tahun 2010 (tanggal 11 April dan 6 Juni 2010) Komunitas
B2W (Bike to Work) Semarang mengadakan talk show yang diberi tajuk DESAK
PEMERINTAH SEMARANG UNTUK MENYEDIAKAN JALUR SEPEDA DI KOTA SEMARANG. Di talk
show yang kedua, Ari Purbono, selaku ketua Komisi B DPRD Jawa Tengah waktu itu (yang
juga diajukan sebagai calon wali kota Semarang oleh sebuah Partai Politik)
berjanji bahwa jalur sepeda akan segera direalisasikan. Guntur Risyadmoko,
salah satu keynote speaker dari Dinas Perhubungan mengiyakan pernyataan ini,
paling lambat akhir tahun 2011.
Awal
tahun 2012
jalur sepeda di Semarang, foto dijepret 7 Juli 2013 |
Jalur sepeda akhirnya memang ada di Semarang! Untuk
mewujudkan janji menyediakan jalur sepeda, pemerintah memilih Jalan Pemuda,
Jalan Pandanaran, Jalan Pahlawan, Jalan Ahmad Yani dan kawasan Simpang Lima,
jalan-jalan utama kota Semarang. Jalur sepeda yang ditandai dengan marka garis
berwarna kuning, dengan gambar sepeda di tengah-tengah, berada di sisi paling
kiri, lebar sekitar satu meter. Jalur sepeda ini bisa didapati di dua jalur
yang berlawanan, misal di Jalan Pemuda, di jalur yang menuju arah Utara, maupun
di jalur yang menuju arah Selatan.
Akan tetapi ketika ditelusuri, jalur sepeda itu tidak
benar-benar bisa dinikmati oleh para pesepeda, karena sering jalur itu justru
dipakai untuk parkir mobil maupun motor. Apalagi di Jalan Pandanaran dimana
terletak toko-toko yang berjualan makanan oleh-oleh asli Semarang. Di depan
toko-toko tersebut, tak lagi terlihat jalur sepeda, karena dipenuhi dengan
mobil yang berderet parkir.
Maka kemudian muncul tuduhan bahwa jalur sepeda ini akan
mematikan ladang rezeki tukang parkir. Atau menyulitkan para pemilik usaha
untuk menyediakan lahan parkir karena terbatasnya ruang yang ada.
Jika kemudian jalur sepeda itu tidak benar-benar
dimanfaatkan untuk melajunya para pesepeda, lantas untuk apakah jalur sepeda
itu disediakan? Hanya sekedar untuk menghamburkan uang rakyat? Lalu bagaimana
menyelesaikan masalah parkir?
REBUT
RUANG KOTA
Mulai pertengahan tahun 2010, ada gerakan “menyepedakan masyarakat”
dengan jargon REBUT RUANG KOTA! Tidak jelas siapa yang melontarkan ide yang
menggunakan istilah “critical mass” ini. Di Semarang event ini disebut
“Semarang Critical Mass Ride” yang dilaksanakan setiap hari Jumat terakhir tiap
bulan. Para pesepeda berkumpul di Jalan Pahlawan pukul 19.00 dan kemudian
bersepeda bersama-sama keliling kota, sesuai rute yang dipilih pada hari itu.
nite ride 30 Juli 2010 |
Sesuai dengan jargonnya, gerakan ini konon diharapkan akan
mampu merebut ruang kota hanya untuk para pesepeda, tak lagi ada tempat untuk
mereka yang menaiki kendaraan bermotor. Di awal penyelenggaraannya, ratusan
pesepeda yang hadir benar-benar memenuhi badan jalan di seluruh rute yang
dilewati, hingga tak menyisakan tempat bagi pengguna jalan lain, tanpa ada
“road captain” yang memimpin, tanpa “marshall” yang mengawasi para pesepeda,
juga tanpa “sweeper” yang mengecek apakah ada peserta yang ketinggalan.
Bisa dibayangkan betapa kesalnya para pengguna jalan lain
jika melihat kearoganan ini. Bukankah jalan raya itu milik bersama? Para
pengendara kendaraan bermotor, pesepeda, juga pejalan kaki? Alih-alih menarik
orang untuk beralih naik sepeda dan meninggalkan kendaraan bermotor mereka,
justru gerakan “rebut ruang kota” ini akan membuat orang tak simpatik dengan
para pesepeda. Akibatnya mereka akan tetap berkendaraan bermotor, tetap
membutuhkan bahan bakar yang bakal habis satu saat nanti, dan terus menyebabkan
polusi udara.
Sekitar dua tahun kemudian, “Semarang Critical Mass Ride”
tak lagi ada pengikutnya. Entah mengapa.
JALUR
SEPEDA DI PURWOKERTO
Bulan Maret 2013 aku dan Ranz berkesempatan gowes di kota
Purwokerto, dalam rangkaian bikepacking Solo – Purwokerto. Kita sangat terkesan
dengan jalur sepeda yang ada disana. Di salah satu jalan utamanya, Jalan
Jendral Sudirman, kita dapati jalur sepeda hanya di satu sisi. Di jalan yang
sama, di jalur yang berlawanan arah, di sisi paling pinggir kiri digunakan
untuk parkir kendaraan bermotor. Maka, tak ada kendaraan bermotor yang
menghalangi pesepeda menggunakan jalur yang disediakan buat mereka. Di beberapa
tempat, kita menemukan poster yang bertuliskan “keselamatan jalan tanggung
jawab kita semua; beri kesempatan pesepeda menggunakan lajurnya.”
beri kesempatan pesepeda menggunakan lajurnya |
Ini adalah ide yang bagus untuk diterapkan di kota Semarang,
mungkin juga di kota-kota lain. Jalur sepeda tetap ada dan dimanfaatkan oleh
para pesepeda; lahan parkir di satu jalan pun tetap ada sehingga tidak
mematikan ladang rezeki para tukang parkir. Para pengendara kendaraan bermotor
pun tidak perlu bingung mencari tempat parkir.
PENUTUP
Undang-undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 2009 pasal
106 ayat 2 menjelaskan bahwa “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor
wajib mengutamakan pejalan kaki dan pesepeda.” Ayat ini jelas mengatakan bahwa
jalan raya itu milik semua yang menggunakannya, para pengendara kendaraan
bermotor, pesepeda, juga pejalan kaki.
Dalam prakteknya, meski UU ini disahkan empat tahun lalu,
ayat tersebut kurang dikenal masyarakat dengan bukti masih banyak ditemukan
arogansi para pengendara kendaraan bermotor kepada para pesepeda, juga pejalan
kaki. Sebagai seorang praktisi bike-to-work maupun pehobi bikepacking, terlalu
banyak pengalaman tersingkirkan di jalanan, demi keselamatan diri dikarenakan
hanya dipandang sebelah mata oleh pengguna jalan lain. Namun, tetap, semua
orang berhak menggunakan jalan raya bersama-sama, dan saling menghormati
pengguna jalan lain.
Nana Podungge
seorang bike-to-worker dan bikepacker
PT56 19.00 070713