Senin, Juli 08, 2013

JALAN RAYA : MILIK SIAPA?

JALAN RAYA : MILIK SIAPA?

JALUR SEPEDA DI KOTA SEMARANG

Dengan semakin semaraknya jalan raya dengan para pesepeda, dan juga rasa ‘iri’ terhadap beberapa kota lain di Indonesia yang telah memiliki jalur sepeda, di tahun 2010 (tanggal 11 April dan 6 Juni 2010) Komunitas B2W (Bike to Work) Semarang mengadakan talk show yang diberi tajuk DESAK PEMERINTAH SEMARANG UNTUK MENYEDIAKAN JALUR SEPEDA DI KOTA SEMARANG. Di talk show yang kedua, Ari Purbono, selaku ketua Komisi B DPRD Jawa Tengah waktu itu (yang juga diajukan sebagai calon wali kota Semarang oleh sebuah Partai Politik) berjanji bahwa jalur sepeda akan segera direalisasikan. Guntur Risyadmoko, salah satu keynote speaker dari Dinas Perhubungan mengiyakan pernyataan ini, paling lambat akhir tahun 2011.

Awal tahun 2012

jalur sepeda di Semarang, foto dijepret 7 Juli 2013

Jalur sepeda akhirnya memang ada di Semarang! Untuk mewujudkan janji menyediakan jalur sepeda, pemerintah memilih Jalan Pemuda, Jalan Pandanaran, Jalan Pahlawan, Jalan Ahmad Yani dan kawasan Simpang Lima, jalan-jalan utama kota Semarang. Jalur sepeda yang ditandai dengan marka garis berwarna kuning, dengan gambar sepeda di tengah-tengah, berada di sisi paling kiri, lebar sekitar satu meter. Jalur sepeda ini bisa didapati di dua jalur yang berlawanan, misal di Jalan Pemuda, di jalur yang menuju arah Utara, maupun di jalur yang menuju arah Selatan.

Akan tetapi ketika ditelusuri, jalur sepeda itu tidak benar-benar bisa dinikmati oleh para pesepeda, karena sering jalur itu justru dipakai untuk parkir mobil maupun motor. Apalagi di Jalan Pandanaran dimana terletak toko-toko yang berjualan makanan oleh-oleh asli Semarang. Di depan toko-toko tersebut, tak lagi terlihat jalur sepeda, karena dipenuhi dengan mobil yang berderet parkir.

Maka kemudian muncul tuduhan bahwa jalur sepeda ini akan mematikan ladang rezeki tukang parkir. Atau menyulitkan para pemilik usaha untuk menyediakan lahan parkir karena terbatasnya ruang yang ada.

Jika kemudian jalur sepeda itu tidak benar-benar dimanfaatkan untuk melajunya para pesepeda, lantas untuk apakah jalur sepeda itu disediakan? Hanya sekedar untuk menghamburkan uang rakyat? Lalu bagaimana menyelesaikan masalah parkir?

REBUT RUANG KOTA

Mulai pertengahan tahun 2010, ada gerakan “menyepedakan masyarakat” dengan jargon REBUT RUANG KOTA! Tidak jelas siapa yang melontarkan ide yang menggunakan istilah “critical mass” ini. Di Semarang event ini disebut “Semarang Critical Mass Ride” yang dilaksanakan setiap hari Jumat terakhir tiap bulan. Para pesepeda berkumpul di Jalan Pahlawan pukul 19.00 dan kemudian bersepeda bersama-sama keliling kota, sesuai rute yang dipilih pada hari itu.

nite ride 30 Juli 2010

Sesuai dengan jargonnya, gerakan ini konon diharapkan akan mampu merebut ruang kota hanya untuk para pesepeda, tak lagi ada tempat untuk mereka yang menaiki kendaraan bermotor. Di awal penyelenggaraannya, ratusan pesepeda yang hadir benar-benar memenuhi badan jalan di seluruh rute yang dilewati, hingga tak menyisakan tempat bagi pengguna jalan lain, tanpa ada “road captain” yang memimpin, tanpa “marshall” yang mengawasi para pesepeda, juga tanpa “sweeper” yang mengecek apakah ada peserta yang ketinggalan.

Bisa dibayangkan betapa kesalnya para pengguna jalan lain jika melihat kearoganan ini. Bukankah jalan raya itu milik bersama? Para pengendara kendaraan bermotor, pesepeda, juga pejalan kaki? Alih-alih menarik orang untuk beralih naik sepeda dan meninggalkan kendaraan bermotor mereka, justru gerakan “rebut ruang kota” ini akan membuat orang tak simpatik dengan para pesepeda. Akibatnya mereka akan tetap berkendaraan bermotor, tetap membutuhkan bahan bakar yang bakal habis satu saat nanti, dan terus menyebabkan polusi udara.

Sekitar dua tahun kemudian, “Semarang Critical Mass Ride” tak lagi ada pengikutnya. Entah mengapa.

JALUR SEPEDA DI PURWOKERTO

Bulan Maret 2013 aku dan Ranz berkesempatan gowes di kota Purwokerto, dalam rangkaian bikepacking Solo – Purwokerto. Kita sangat terkesan dengan jalur sepeda yang ada disana. Di salah satu jalan utamanya, Jalan Jendral Sudirman, kita dapati jalur sepeda hanya di satu sisi. Di jalan yang sama, di jalur yang berlawanan arah, di sisi paling pinggir kiri digunakan untuk parkir kendaraan bermotor. Maka, tak ada kendaraan bermotor yang menghalangi pesepeda menggunakan jalur yang disediakan buat mereka. Di beberapa tempat, kita menemukan poster yang bertuliskan “keselamatan jalan tanggung jawab kita semua; beri kesempatan pesepeda menggunakan lajurnya.”

beri kesempatan pesepeda menggunakan lajurnya

Ini adalah ide yang bagus untuk diterapkan di kota Semarang, mungkin juga di kota-kota lain. Jalur sepeda tetap ada dan dimanfaatkan oleh para pesepeda; lahan parkir di satu jalan pun tetap ada sehingga tidak mematikan ladang rezeki para tukang parkir. Para pengendara kendaraan bermotor pun tidak perlu bingung mencari tempat parkir.

PENUTUP

Undang-undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 2009 pasal 106 ayat 2 menjelaskan bahwa “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib mengutamakan pejalan kaki dan pesepeda.” Ayat ini jelas mengatakan bahwa jalan raya itu milik semua yang menggunakannya, para pengendara kendaraan bermotor, pesepeda, juga pejalan kaki.

Dalam prakteknya, meski UU ini disahkan empat tahun lalu, ayat tersebut kurang dikenal masyarakat dengan bukti masih banyak ditemukan arogansi para pengendara kendaraan bermotor kepada para pesepeda, juga pejalan kaki. Sebagai seorang praktisi bike-to-work maupun pehobi bikepacking, terlalu banyak pengalaman tersingkirkan di jalanan, demi keselamatan diri dikarenakan hanya dipandang sebelah mata oleh pengguna jalan lain. Namun, tetap, semua orang berhak menggunakan jalan raya bersama-sama, dan saling menghormati pengguna jalan lain.

Nana Podungge
seorang bike-to-worker dan bikepacker


PT56 19.00 070713