Baru tahun akademik ini aku ketiban sampur mengajar mata pelajaran "Sejarah" di kelas 12. Dikarenakan belum ada buku yang ditulis secara bilingual, maka kita menggunakan buku yang hanya ditulis dalam Bahasa Indonesia.Sekolah memilih menggunakan buku Sejarah terbitan Y*dh*****a.
Memasuki term kedua ini pembahasan 'baru' (atau 'telah' ya?) sampai bab dua, yakni "Perkembangan Perekonomian dan Politik Indonesia".
Mungkin karena anak-anak yang telah terkondisi menggunakan English dalam interaksi sehari-hari di sekolah sehingga ketika diskusi menggunakan Bahasa Indonesia menjadi kaku, atau mungkin karena mereka terbiasa menggunakan buku-buku terbitan luar negeri sehingga selalu saja masalah 'bosan' menimpa diskusi di kelas, atau instead of breaking the mirror for my ugly face, I must admit that I am so boring to teach the material.
Kemarin salah satu siswa kelas 12 -- if you follow my note/blog perhaps you will know my favorite student in 'Religious Studies class -- komplen. Ada dua hal yang dia kemukakan:
- "Miss, this book or this subject is not supposed to be called as "Sejarah Indonesia", instead it is supposed to be called "Sejarah Politik Indonesia".
- "Miss, don't you think that history book must be free from anybody's opinion?" sambil menunjuk beberapa contoh kalimat yang memang jelas-jelas tidak hanya mengungkap 'fakta' yang ada melainkan juga opini sang penulis.
Sedangkan untuk point pertama, dalam buku terbitan C**br****e, ketika membahas suatu peristiwa, misal perang bla bla bla ... maka akan disinggung juga kehidupan masyarakat di daerah dimana perang terjadi,bagaimana masyarakat menjadi korban, dan lain sebagainya. Sehingga pembahasan menjadi menarik karena tidak melulu membahas 'konferensi Malino' terjadi di satu tempat pada tanggal sekian sampai tanggal sekian, tanpa explanasi yang jelas mengapa konferensi tersebut diselenggarakan, dan bagaimana dampak konferensi tersebut terhadap masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.
As simple as that.
WEW.
GL7 09.44 261011