Feminisme: budaya Barat?
NOTE: mengingat kata feminisme ‘ditemukan’ pada tahun 1891 untuk mengacu ke gerakan kesetaraan jender kaum perempuan di Amerika, maka kata ‘feminisme’ di judul ini bisa juga dibaca sebagai “kesetaraan jender: budaya Barat?”
NOTE: mengingat kata feminisme ‘ditemukan’ pada tahun 1891 untuk mengacu ke gerakan kesetaraan jender kaum perempuan di Amerika, maka kata ‘feminisme’ di judul ini bisa juga dibaca sebagai “kesetaraan jender: budaya Barat?”
“Feminisme adalah gaya hidup orang Barat. Oleh karena itu, kita sebagai orang Timur tidak selayaknya ikut-ikutan mengamininya, karena feminisme bukanlah budaya kita sendiri. Bisa juga ditambahkan bahwa ajaran feminisme itu bertentangan dengan ajaran agama Islam. Itulah sebabnya maka kita sebagai Muslim di belahan bumi Timur dilarang membolehkan budaya asing ini masuk ke dalam kehidupan kita.”
Seberapa sering anda mendapatkan pernyataan yang demikian itu? Atau mungkin justru andalah yang menyatakan keragu-raguan yang seperti itu? Untuk menghadapi keraguan seperti itu (yang kudapatkan dari salah satu postinganku di blog Nana's Cyber Home beberapa tahun lalu) aku sitir definisi budaya dari “World Book 2005” versi digital:
“Culture is a term used by social scientists for a way of life. … People are not born with any knowledge of a culture. They generally learn a culture by growing up in a particular society. … Therefore, one of its characteristics is that culture is acquired through learning, not through biological inheritance. Children take on the culture in which they are raised through enculturation.“
“Kebudayaan adalah sebuah istilah yang digunakan oleh para ilmuwan sosial yang mengacu ke gaya hidup. Seseorang lahir tanpa membawa budaya apa pun. Dia akan mempelajari sebuah budaya di tengah masyarakat dimana dia tinggal. Oleh karena itu, salah satu karakteristik budaya adalah bahwa hal tersebut diperoleh dari pembelajaran, bukan dari warisan biologis. Anak-anak menyerap kebudayaan dengan cara mereka dibesarkan melalui enkulturasi.”
Ribuan tahun yang lalu nenek moyang kita berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari Timur ke Barat, atau mungkin juga sebaliknya sambil membawa gaya hidup (budaya) mereka. Ketika era nomaden usai (dengan ditemukannya teknologi pertanian oleh kaum perempuan) nenek moyang kita mulai menetap di satu tempat sambil mengembangkan gaya hidup mereka, berdasarkan cara berpikir mereka yang disesuaikan dengan kondisi dan iklim tempat mereka tinggal. Hal ini menyebabkan kebudayaan di satu tempat nampak berbeda dengan kebudayaan di tempat lain.
Sementara itu bias jender telah ada sangat lama. “Penemuan” atau pun “pembentukan” agama-agama Ibrahimi pun menguatkan bias jender ini karena para pencetus agama-agama tersebut adalah kaum laki-laki. Itulah sebabnya, tidak di Barat maupun di Timur, kebudayaan yang berkembang – dengan diwarnai oleh kehadiran agama-agama Ibrahimi tersebut – memiliki satu kesamaan: marjinalisasi terhadap kaum perempuan.
Mungkin anda masih ingat kejayaan negara-negara beragama Islam ribuan tahun yang lalu. Banyak ilmuwan Islam menciptakan banyak hal. (Coba cari saja di google, misal dengan menggunakan kata kunci “Muslim scientist inventions”) Namun, perseteruan antara ketiga agama Ibrahimi tersebut – demi untuk mendapatkan label agama yang paling benar, yang kemudian membuat negara-negara tersebut keasyikan berperang – membuat mereka tertinggal di belakang para ilmuwan Barat. Itulah sebabnya ketika negara-negara Barat maju pesat dengan penemuan-penemuan ilmuwan mereka, negara-negara Timur bisa dikatakan masih dalam era kegelapan.
Berkaitan dengan itu, sangatlah dipahami jika para perempuan di belahan bumi Barat terlebih dahulu mulai menanyakan kemarjinalan posisi mereka di masyarakat dibandingkan para perempuan di belahan bumi Timur. Namun, untuk kemudian mengatakan bahwa ideologi feminisme hanya milik Barat sangatlah tidak pas.
Seperti yang kutulis dalam postigan yang berjudul “Feminisme a la Nana Podungge”, perjuangan kaum perempuan Amerika pertama kali ditandai dengan diselenggarakannya KTT Perempuan yang pertama di Seneca Falls tahun 1848. Mesin cetak dan perusahaan penerbitan di negara Barat tentu jauh lebih maju ketimbang negara Timur – misal Indonesia – pada waktu itu. Meski kaum perempuan Amerika diserang dengan adanya “the Cult of True Womanhood” (pengkultusan perempuan sejati) dimana salah satu ‘prinsip’nya adalah perempuan tidak selayaknya menulis, karena menulis itu termasuk ranah maskulin (konon kata ‘pen’ berasal dari kata ‘penis’) di pertengahan abad sembilan belas tersebut, di sana masih bisa ditemukan tulisan-tulisan perempuan.
Di Indonesia, pada masa yang sama, sangat sedikit perempuan yang bisa menikmati ‘kemewahan’ mendapatkan pendidikan. Bisa dipahami jika mereka belum bisa menuangkan protes mereka dalam bentuk tulisan. Untunglah kita memiliki R. A. Kartini sebagai contoh. Dia memberontak belenggu budaya yang mengungkungnya melalui surat-surat yang dia kirimkan kepada teman-temannya di negeri Belanda. Aku yakin protes Kartini ini disebabkan oleh buku-buku berbahasa Belanda yang dia terima dan baca, dimana dia kemudian membandingkan kondisi perempuan di negara Eropa – Amerika pada waktu itu dengan kondisi perempuan di bumi Nusantara.
Sangatlah melecehkan jika dikatakan bahwa kaum perempuan di belahan bumi Timur tak selayaknya berjuang untuk mendapatkan kesetaraan jender. Dengan kata lain, kaum perempuan di belahan bumi Timur dianggap tidak sepantasnya merasa mereka termarjinalisasi, dengan alasan “kesetaraan jender itu milik Barat”.
Di awal kelahirannya, gerakan kesetaraan jender kaum perempuan ini memang dimotori oleh kaum perempuan berkulit putih yang berasal dari kalangan kelas menengah masyarakat sehingga terkesan gerakan mereka tidak mewakili suara seluruh perempuan sedunia. Oleh sebab itu, untuk mengakomodasi suara-suara perempuan lain, yang tidak berkulit putih juga tidak berasal dari kelas menengah, muncullah gerakan-gerakan lain, misal ekofeminisme dan feminisme multikultural yang mewakili perempuan kulit berwarna. Kemunculan gerakan-gerakan ini membuat ideologi feminisme sebagai sesuatu yang sangat membumi, yang sangat dekat dengan kehidupan kaum perempuan dimana saja, termasuk mereka yang tinggal di negara berkembang, seperti Indonesia.
Kebudayaan memang sering dijadikan kambing hitam untuk menolak sesuatu yang baru. Kata kebudayaan terkadang memang disalahgunakan agar manusia bisa menggunakan hak-haknya untuk menilai sesuatu. Seperti yang ditulis dalam World Book, kebudayaan diperoleh melalui cara pembelajaran, bukan melulu menerima begitu saja tanpa enkulturasi. Jika seseorang memiliki cara pandang yang lain dari masyarakat kebanyakan, menggunakan metode pembelajaran mereka sendiri, menggunakan logika mereka sendiri, apa yang salah?
Untuk mengakhiri tulisan ini, apakah ideologi feminisme – dengan ide kesetaraan jender sebagai ‘anak’nya – merupakan budaya Barat maupun Timur tidak lagi penting. Yang lebih penting adalah menggunakan cara berpikir dan kesadaran kita untuk memandang sebuah gaya hidup sesuai atau tidak dalam kehidupan kita. Langkah berikutnya adalah saling menghormati nilai-nilai norma yang dianut oleh orang lain sehingga orang lain pun menghormati kita.
P.S.: Terjemahan dari tulisan yang berjudul “Feminism: A Western Culture?” yang kutulis pada tanggal 21 Januari 2008. The English version can be viewed at Feminism: Western Culture?
Nana Podungge
PT56 14.59 150810