PEREMPUAN = DEKORASI?
“Aku suka perempuan cerdas,” kata lelaki itu, di pertemuan yang pertama. Setelah obrolan antara aku dan dia berjalan selama kurang lebih dua jam.
Aku hanya tersenyum tipis. Ini bukan yang pertama kali seorang laki-laki ‘flirt’ aku dengan mengatakan hal tersebut.
“Perempuan cantik dan seksi itu bertebaran dimana saja. Aku bisa menemukan mereka di mana pun dan kapan pun. Tapi kalau perempuan cerdas? Nah ... that is really something,” tambahnya lagi.
“Tahukah engkau banyak laki-laki justru tidak menyukai perempuan yang cerdas?” sahutku dengan nada datar, untuk menunjukkan kepadanya bahwa rayuannya tidak mempan membuatku melambung ke awan.
Mimik wajahnya terlihat sedikit kaget mendengar perkataanku itu. Mungkin juga ditambah nada datar yang kupilih, plus tentu dia tidak menemukan rona muka malu-malu tapi nafsu di wajahku.
“Lelaki yang tidak menyukai perempuan cerdas tentu karena lelaki itu tidak pede, karena kalah cerdas.” Katanya.
“Memang ...” jawabku, tetap dengan nada datar, tanpa ekspresi berlebihan.
“Namun aku bukan tipe lelaki yang seperti itu Na. Meski mungkin pendidikan formalku tidak setinggi pendidikanmu, aku yakin aku ga kalah cerdas dibandingkan kamu, karena aku hobi membaca. Coba kalau kamu datang ke rumahku, kamu bisa meminjam buku-bukuku. Untuk membaca semuanya, kamu butuh lebih dari tiga tahun, itu dengan catatan satu hari kamu membaca satu judul buku.” Katanya, setengah membanggakan diri.
“Dan kamu juga bukan lelaki pertama yang merayuku dengan mengatakan hal yang sama,” sahutku tajam.
Aku ingat seorang mantan rekan kerja yang di mataku sangat cerdas namun memilih seorang istri yang di mataku kecerdasannya biasa-biasa saja, meski memiliki kecantikan luar yang sangat memikat. Setelah berkenalan dengan adiknya, perempuan, yang tak kalah cerdas, aku baru tahu alasannya. Di mata kakak laki-lakinya itu, perempuan hanyalah ‘dekorasi’. Dia cukup bangga tatkala berjalan didampingi oleh seorang perempuan yang jelita dan dikagumi oleh orang yang memandangnya. “Wah, mas, istrimu cantik sekali?”
Alasan kedua, perempuan yang menjadi istrinya itu tipe perempuan yang berprinsip, “whatever my husband says, I will follow...”
“Aku sadar hal tersebut ketika terjadi adu argumentasi yang lumayan alot di rumah, tatkala aku memutuskan untuk pergi ke Amerika untuk melanjutkan kuliah. Suamiku mendukung penuh, ayahku juga. Herannya yang tidak mendukung adalah ibuku dan kakak laki-lakiku itu. “ cerita sobatku. “ “Kakakku sempat bilang, bahwa kalau aku adalah istrinya, dia tidak akan membiarkan aku pergi ke Amerika. Seperti ibuku, dia lebih menyuruhku tinggal di Indonesia dan berkonsentrasi untuk memiliki anak. You know ...”
Laki-laki cerdas ternyata tidak selalu pede menghadapi perempuan cerdas. Meski tentu aku tahu ini hanya sekedar masalah pilihan hidup.
---------- ---------- ---------- ----------
“Aku heran dengan pendidikan Bahasa Inggris di negara kita ini. Dengan memberikan pelajaran Bahasa Inggris selama kurang lebih empat jam seminggu, dari kelas 1 SMP sampai kelas 3 SMA, seharusnya paling tidak seorang lulusan SMA mampu berbicara menggunakan Bahasa Inggris. Yah ... paling tidak dalam situasi yang ringan, misal menerima telpon, pesan makan di restoran, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak rumit. Namun kenyataannya pada umumnya, aku ulangi lagi, pada umumnya, lulusan SMA masih banyak yang belum bisa menggunakan Bahasa Inggris dalam kegiatan sehari-hari. Nah ... kamu kan guru Bahasa Inggris. Apa pendapatmu?” tanya lelaki yang sama. Ini pertemuan kita berdua.
“Banyak alasan mengapa terjadi hal yang kamu kemukakan tadi. Tapi aku yakin, faktor guru memang sangat memegang peran penting dalam membuat seorang siswa suka belajar Bahasa Inggris atau tidak. Terutama guru yang mengajarkan Bahasa Inggris kepada seorang anak untuk pertama kali. Karena banyak di antara siswaku atau mahasiswaku yang mengaku mereka dulu tidak suka pelajaran Bahasa Inggris karena tatkala duduk di bangku SMP, mereka tidak menyukai gurunya. Setelah lulus kuliah, mau mencari pekerjaan, baru mereka kelabakan ingin memperdalam kemampuan Bahasa Inggris mereka. Bla bla bla ...”
Tatkala aku menjelaskan dengan serius, kulihat laki-laki di hadapanku itu menatap wajahku dengan tatapan mata yang, entah mengapa, aku menyimpulkan dia tidak mendengarkan penjelasanku dengan seksama. Tak lama kemudian, sambil tetap memandang wajahku dan tersenyum-senyum yang sayangnya aku tak mampu menangkap maknanya, dia menggerakkan tangannya, memberiku tanda untuk mendekat kepadanya, dan berbisik,
“Kamu tahu ga Na? Aku ga ndengerin apa yang kamu katakan. Aku malah asyik memandang indahnya lesung pipit di pipi kirimu. Kamu tahu kah kamu manis sekali kalau tersenyum?”
###
Ternyata dia sama saja dengan para lelaki lain yang menganggap perempuan hanyalah barang dekorasi yang cukup untuk dipandangi dengan nikmat. Dan bukan untuk didengarkan apa yang dia katakan, rangkaian argumentasi yang keluar dari otaknya!
“Aku menyukai perempuan cerdas,” yang dia katakan di pertemuan kita pertama hanyalah rayuan gombal kosong.
Bikin ENEG!
PT28 18.25 221210