Kuimpor dari blogku di Serba-serbi Kehidupan: HYPERMARKET
Kutulis tiga tahun yang lalu, sebelum DP Mall di Jalan Pemuda Semarang buka :)
DPRD Usulkan Standar Harga Eceran Carrefour” adalah satu headline di harian Suara Merdeka hari Kamis 6 September 2007 di bagian SEMARANG METRO. Judul ini mengingatkanku pada satu kuliah yang kuikuti dari dosen tamu Prof. Kenneth Hall, yakni “American Capitalism”. Kehadiran hypermarket di Amerika telah mematikan banyak toko kecil yang biasanya berupa toko usaha keluarga, yang kadang-kadang disebut Mom and Pop’s Store. Contoh bagus bisa dilihat dalam film yang lumayan lama, “You’ve Got Mail” dimana si tokoh perempuan akhirnya harus menutup toko buku miliknya yang mungil karena kehadiran hyper bookstore tepat di sampingnya. Toko buku yang lebih mengedepankan strategi kekeluargaan kepada para pelanggan ini akhirnya harus tutup, karena zaman yang telah berubah dan orang tidak mementingkan lagi strategi seperti ini.
Jika hypermarket telah mematikan banyak toko kecil di Amerika, aku setuju dengan beberapa pedagang yang diwawancarai oleh Suara Merdeka tentang ketidakkhawatiran mereka akan pelanggan yang bakal lari ke DP Mall—supermall baru yang terletak dekat dengan gedung bersejarah Semarang, Lawangsewu. Mengapa? Karena jelas kultur Indonesia yang berbeda dengan kultur di Amerika. Contoh yang paling kongkrit, juga disebutkan dalam artikel tersebut, yaitu kecenderungan masyarakat Indonesia yang membeli eceran—karena miskin. Misal: membeli rokok satu batang karena tidak mampu membeli rokok langsung satu pak. Mana bisa membeli rokok satu batang di mall? Mana ada orang Amerika membeli rokok hanya satu batang, meskipun di Mom and Pop’s Store? Kata Michael Sunggiardi, presenter utama dalam seminar “SOLUSI IT MURAH UNTUK DUNIA BISNIS” yang diselenggarakan oleh Unika Soegijapranata hari Selasa 4 September 2007, bahkan di Sudan negara yang konon lebih miskin daripada Indonesia saja menjual rokok eceran minimal dalam hitungan 5 dan kelipatannya. Apalagi di Amerika negara super power itu yang aku yakin semua penduduknya mampu membeli lisensi Microsoft sehingga tidak perlu membajak seperti orang-orang di Indonesia.
Bisa jadi harga-harga barang pokok yang dijual di Carrefour, yang terletak di DP Mall, lebih murah beberapa ratus rupiah dibandingkan di toko-toko kecil. Namun tentu orang yang keuangannya pas pasan akan berpikir beberapa kali sebelum memutuskan belanja di Carrefour jika tahu bahwa biaya parkir konon dihitung perjam, dan bukan per satu kali parkir. Belum lagi jarak yang lebih jauh dari rumah sehingga membutuhkan waktu ekstra untuk berbelanja. Hal ini pun bisa jadi mempengaruhi keinginan orang untuk pergi berbelanja ke mall manapun.
PT56 21.37 060907
Tiga tahun kemudian ...
Pasar tradisional Bulu yang lokasinya lumayan dekat dengan DP Mall tetap buka, tidak kehilangan pelanggan tetapnya. Jika di awal buka DP Mall, seolah-olah keramaian Semarang yang biasanya berkisar di daerah Simpanglima pada akhir pekan atau hari-hari libur lain pindah ke Jalan Pemuda (baca => DP Mall), sampai kemacetan di jalan Pemuda mencapai puluhan kilometer, beberapa minggu kemudian DP Mall sudah sepi. Orang-orang Semarang nampaknya tetap tumplek bleg di Simpanglima.
Setelah Paragon City Mall buka bulan April lalu -- tidak jauh dari lokasi DP Mall -- kuamati pasar tradisional Prembaen -- yang jaraknya hanya beberapa mete dari Paragon -- tetap dikunjungi oleh para pelanggan setianya.
Jika kuhubungkan dengan tulisanku tiga tahun lalu, ternyata kehadiran 'pasar-pasar modern' di Semarang tidak begitu saja mematikan pasar-pasar tradisional yang ada. Mungkin membutuhkan waktu beberapa dekade lagi? Mengingat yang hobi jeng-jeng di mall adalah para youngsters. Dan ... jika kuhubungkan dengan tulisan yang berjudul "Penjajahan Ideologi dan Budaya", hmmm ... tetap saja menyedihkan. :'( Kecenderungan manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa menghindari perubahan dunia?
Nana Podungge
PT56 15.18 140910
Kutulis tiga tahun yang lalu, sebelum DP Mall di Jalan Pemuda Semarang buka :)
DPRD Usulkan Standar Harga Eceran Carrefour” adalah satu headline di harian Suara Merdeka hari Kamis 6 September 2007 di bagian SEMARANG METRO. Judul ini mengingatkanku pada satu kuliah yang kuikuti dari dosen tamu Prof. Kenneth Hall, yakni “American Capitalism”. Kehadiran hypermarket di Amerika telah mematikan banyak toko kecil yang biasanya berupa toko usaha keluarga, yang kadang-kadang disebut Mom and Pop’s Store. Contoh bagus bisa dilihat dalam film yang lumayan lama, “You’ve Got Mail” dimana si tokoh perempuan akhirnya harus menutup toko buku miliknya yang mungil karena kehadiran hyper bookstore tepat di sampingnya. Toko buku yang lebih mengedepankan strategi kekeluargaan kepada para pelanggan ini akhirnya harus tutup, karena zaman yang telah berubah dan orang tidak mementingkan lagi strategi seperti ini.
Jika hypermarket telah mematikan banyak toko kecil di Amerika, aku setuju dengan beberapa pedagang yang diwawancarai oleh Suara Merdeka tentang ketidakkhawatiran mereka akan pelanggan yang bakal lari ke DP Mall—supermall baru yang terletak dekat dengan gedung bersejarah Semarang, Lawangsewu. Mengapa? Karena jelas kultur Indonesia yang berbeda dengan kultur di Amerika. Contoh yang paling kongkrit, juga disebutkan dalam artikel tersebut, yaitu kecenderungan masyarakat Indonesia yang membeli eceran—karena miskin. Misal: membeli rokok satu batang karena tidak mampu membeli rokok langsung satu pak. Mana bisa membeli rokok satu batang di mall? Mana ada orang Amerika membeli rokok hanya satu batang, meskipun di Mom and Pop’s Store? Kata Michael Sunggiardi, presenter utama dalam seminar “SOLUSI IT MURAH UNTUK DUNIA BISNIS” yang diselenggarakan oleh Unika Soegijapranata hari Selasa 4 September 2007, bahkan di Sudan negara yang konon lebih miskin daripada Indonesia saja menjual rokok eceran minimal dalam hitungan 5 dan kelipatannya. Apalagi di Amerika negara super power itu yang aku yakin semua penduduknya mampu membeli lisensi Microsoft sehingga tidak perlu membajak seperti orang-orang di Indonesia.
Bisa jadi harga-harga barang pokok yang dijual di Carrefour, yang terletak di DP Mall, lebih murah beberapa ratus rupiah dibandingkan di toko-toko kecil. Namun tentu orang yang keuangannya pas pasan akan berpikir beberapa kali sebelum memutuskan belanja di Carrefour jika tahu bahwa biaya parkir konon dihitung perjam, dan bukan per satu kali parkir. Belum lagi jarak yang lebih jauh dari rumah sehingga membutuhkan waktu ekstra untuk berbelanja. Hal ini pun bisa jadi mempengaruhi keinginan orang untuk pergi berbelanja ke mall manapun.
PT56 21.37 060907
Tiga tahun kemudian ...
Pasar tradisional Bulu yang lokasinya lumayan dekat dengan DP Mall tetap buka, tidak kehilangan pelanggan tetapnya. Jika di awal buka DP Mall, seolah-olah keramaian Semarang yang biasanya berkisar di daerah Simpanglima pada akhir pekan atau hari-hari libur lain pindah ke Jalan Pemuda (baca => DP Mall), sampai kemacetan di jalan Pemuda mencapai puluhan kilometer, beberapa minggu kemudian DP Mall sudah sepi. Orang-orang Semarang nampaknya tetap tumplek bleg di Simpanglima.
Setelah Paragon City Mall buka bulan April lalu -- tidak jauh dari lokasi DP Mall -- kuamati pasar tradisional Prembaen -- yang jaraknya hanya beberapa mete dari Paragon -- tetap dikunjungi oleh para pelanggan setianya.
Jika kuhubungkan dengan tulisanku tiga tahun lalu, ternyata kehadiran 'pasar-pasar modern' di Semarang tidak begitu saja mematikan pasar-pasar tradisional yang ada. Mungkin membutuhkan waktu beberapa dekade lagi? Mengingat yang hobi jeng-jeng di mall adalah para youngsters. Dan ... jika kuhubungkan dengan tulisan yang berjudul "Penjajahan Ideologi dan Budaya", hmmm ... tetap saja menyedihkan. :'( Kecenderungan manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa menghindari perubahan dunia?
Nana Podungge
PT56 15.18 140910
Tidak ada komentar:
Posting Komentar