“Ideologi Feminisme” sebagai tonggak kebangkitan kaum perempuan lebih mencintai diri sendiri.
Tulisan di bawah ini merupakan terjemahan dari tulisanku yang berjudul “Feminism Ideology” yang bisa di akses di Feminism Ideology kutulis empat tahun yang lalu.
Tatkala membaca buku berjudul KAJIAN BUDAYA FEMINIS karya Aquarini Priyatna (diterbitkan oleh Jalasutra pada tahun 2006), aku terkaget-kaget berulang kali: betapa kita berdua memiliki pengalaman yang sama sebagai sesame perempuan yang merasa mendapatkan ‘awakening’ alias pencerahan dalam ideology feminism. Satu hal aku setuju padanya bahwa seorang perempuan tidak perlu membaptis dri menjadi seorang feminis terlebih dahulu untuk menyadari hak-hak yang mereka miliki dalam kultur patriarki ini. Meskipun begitu, untuk dirinya sendiri, Aquarini merasa perlu untuk ‘mengumumkan’ kepada public sikap politik hidupnya sebagai seorang feminis – aku juga merasakan hal yang sama – untuk menekankan bahwa dia tidak mengikuti ‘jalan setapak’ yang diikuti oleh banyak perempuan Indonesia yang mengimani par a pendukung status quo kultur patriarki.
Pengalamanku ketika rajin ngeblog di A Feminist Blog yang bermarkas besar di Inggris, aku banyak berinteraksi dengan para pengunjung blog yang berasal dari daratan Eropa yang membuatku menyimpulkan bahwa kaum perempuan di belahan bumi Barat sana menyadari kesejajaran posisi mereka dengan kaum laki-laki, mereka pun nampaknya menikmati hidup mereka tanpa harus selalu berhubungan dengan laki-laki yang konon berhak merasa memiliki mereka, membuat keputusan untuk hidup mereka sendiri, tanpa bertanya pada laki-laki apakah mereka setuju atau tidak. Untuk itu mereka tidak perlu menjadi seorang ‘declared feminist’ seperti yang kulakukan – yang juga dilakukan oleh Aquarini. Namun Indonesia bukanlah Eropa. Masih banyak orang-orang Indonesia yang awam dengan apa yang disebut sebagai ‘kodrat perempuan’ misalnya. (‘Pernyataan’ bahwa perempuan adalah makhluk ‘kasur – sumur – dapur’ kodratkah? BUKAN! Itu hanyalah konstruksi social belaka!)
Tulisan ini terinpirasi oleh artikel Aquarini yang berjudul “Menulis Saya – Perjalanan Menuju Diri yang Baru”.
Perempuan pelu mencintai diri mereka sendiri dengan cara menyediakan waktu luang khusus untuk diri mereka sendiri tanpa harus melibatkan suami dan anak-anak. Kultur di Indonesia yang kuamati selama ini – terutama kultur Jawa dimana aku lahir dan dibesarkan – menyatakan bahwa setelah memutuskan untuk menikah, perempuan tak lagi selayaknya memiliki waktu luang dimana mereka berhak melakukan apa saja sesuka mereka yang tidak terhubung dengan posisi mereka sebagai seorang istri maupun ibu. Mereka harus mendedikasikan seluruh waktu mereka untuk keluarga. Mereka ‘hanya’ berhak menikmati waktu luang tatkala suami pergi bekerja dan anak-anak pergi sekolah; ini khusus bagi mereka para penyandang label ‘ibu rumah tangga’. Waktu luang ini pun harus mereka gunakan untuk mengerjakan segala macam pekerjaan rumah tangga, mulai dari bersih-bersih rumah, mencuci, memasak, dlsb. Jika mereka beruntung karena memiliki PRT (pekerja rumah tangga) yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga mereka, mungkin mereka akan memiliki waktu luang untuk mengikuti kegiatan sosial, seperti arisan di daerah rumah sekitar, dharma wanita, atau pun berbelanja ke mall, dengan catatan: suami mereka mengizinkan. Jika tidak? Tinggal di rumah.
Perempuan pelu mencintai diri mereka sendiri dengan cara menyediakan waktu luang khusus untuk diri mereka sendiri tanpa harus melibatkan suami dan anak-anak. Kultur di Indonesia yang kuamati selama ini – terutama kultur Jawa dimana aku lahir dan dibesarkan – menyatakan bahwa setelah memutuskan untuk menikah, perempuan tak lagi selayaknya memiliki waktu luang dimana mereka berhak melakukan apa saja sesuka mereka yang tidak terhubung dengan posisi mereka sebagai seorang istri maupun ibu. Mereka harus mendedikasikan seluruh waktu mereka untuk keluarga. Mereka ‘hanya’ berhak menikmati waktu luang tatkala suami pergi bekerja dan anak-anak pergi sekolah; ini khusus bagi mereka para penyandang label ‘ibu rumah tangga’. Waktu luang ini pun harus mereka gunakan untuk mengerjakan segala macam pekerjaan rumah tangga, mulai dari bersih-bersih rumah, mencuci, memasak, dlsb. Jika mereka beruntung karena memiliki PRT (pekerja rumah tangga) yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga mereka, mungkin mereka akan memiliki waktu luang untuk mengikuti kegiatan sosial, seperti arisan di daerah rumah sekitar, dharma wanita, atau pun berbelanja ke mall, dengan catatan: suami mereka mengizinkan. Jika tidak? Tinggal di rumah.
Konsensus ini telah berlaku selama beberapa puluh tahun (atau mungkin berabad-abad?) Jika seorang perempuan tidak mematuhinya, serta merta masyarakat – bahkan termasuk kaum perempuan itu sendiri – akan melabelinya sebagai ‘perempuan yang tidak baik’.
Aquarini hampir saja menolak beasiswa yang diberikan kepadanya untuk melanjutkan studinya ke Inggris karena dia tidak berani meninggalkan suami dan anak-anaknya.
Pada tahun 2006 seorang sobat lamaku harus rela dipergunjingkan orang-orang di sekitarnya manakala dia pergi ke Amerika setelah mendapatkan beasiswa – dengan catatan suaminya telah membolehkannya pergi – hanya karena dia lebih memilih pergi demi studi ketimbang ‘berusaha’ untuk memberikan keturunan kepada suaminya setelah mereka menikah selama kurang lebih enam tahun.
Tahun 2002, seperti Aquarini pun aku hampir tidak jadi mengambil beasiswa yang kudapatkan dengan alasan yang sama: (mantan) suami yang keberatan kutinggal ke luar kota dan anakku.
Tahun 2003 seorang sobat lamaku yang lain tidak jadi melanjutkan kuliahnya ke Jogjakarta (dia tinggal di Semarang) karena suaminya keberatan melepasnya pergi. Dia pun mengiyakan keinginan suaminya – tidak mau ditinggal pergi oleh istrinya – dengan alasan, “Demi kebahagiaan suamiku”.
Seperti Aquarini yang menganggap ideologi feminisme sebagai tonggak kebangkitan dalam hidupnya, untuk lebih mencintai dirinya sendiri, aku pun menganggap kuliahku di American Studies UGM (karena ketika kuliah inilah aku berkenalan dengan ideologi feminisme) sebagai tonggak kebangkitanku untuk lebih mencintai diriku sendiri, menghargai hak-hakku sendiri sebagai perempuan, sekaligus membunuh karakter yang dulu pernah kuciptakan untuk diriku sendiri sebagai ‘angel of the house’. Aku hanyalah manusia biasa, seperti yang diungkapkan oleh Henrik Ibsen dalam dramanya yang terkenal “A Doll’s House”:
HELMER: Before all else, you are a wife and a mother.
NORA: I don’t believe that any longer. I believe that before all else I am a reasonable human being.
A Doll’s House, by Henrik Ibsen, (1999:68)
Seorang perempuan yang bersedia membiarkan dirinya terperangkap dalam posisi “mulia” sebagai seorang istri dan suami, biasanya telah melupakan kenyataan bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa. Dengan mudah dia akan berusaha mengikuti konsensus-konsensus yang ada dalam kultur patriarki, meski tak sedikit kaum perempuan itu yang merasa tidak bahagia.
Aku berharap kaum perempuan Indonesia lebih menyadari hak-hak yang mereka miliki untuk melakukan apa saja yang mereka butuh lakukan, tanpa harus merasa terbebani akan dicap sebagai perempuan yang tidak baik. Aku pun juga berharap kaum laki-laki Indonesia lebih merasa percaya diri untuk melihat kaum perempuannya mengejar karier setinggi yang mereka inginkan sehingga kaum laki-laki tidak memenjarakan mereka dalam penjara sebagai ‘perempuan yang baik-baik’.
Nana Podungge
PT56 16.16 110810
Tidak ada komentar:
Posting Komentar