Beragama secara sosial, sebetulnya, menyalahi sejarah kelahiran agama itu sendiri. Hampir sebagian besar agama lahir karena sikap yang resisten terhadap praktek sosial yang ada. Dengan kata lain, sejarah kelahiran agama adalah sejarah penyimpangan dari norma yang berlaku. Sejarah agama adalah sejarah "kekafiran", yakni kekafiran terhadap kebiasaan yang ada pada suatu waktu. (Ulil Abshar-Abdalla)
Tatkala membaca kalimat di atas, di satu milis yang kuikuti (topik utama sebenarnya adalah “mempertanyakan puasa”), aku teringat dua hal. Yang pertama tentang seorang teman kos waktu aku kuliah S1 dulu. Aku tinggal di sebuah kos yang terletak di Jalan Kaliurang Km 5. Jumlah penghuni kos sekitar 18 perempuan, rata-rata seusia denganku, atau lebih tua 2-4 tahun. Seingatku hanya ada satu di antara kita yang beragama Katolik.
Di antara yang beragama Islam, ada satu yang dengan konsisten tidak menjalankan ibadah shalat lima waktu. Aku dan kebanyakan temanku yang waktu itu cara berpikirnya masih seperti Fahri Anwar, LOL, tentu merasa sangat prihatin karena kita yakin tentu dia akan berteman dengan setan di neraka setelah hari kiamat nanti. Oleh karena itu, beberapa hal kita lakukan bersama untuk ‘menyentilnya’ agar dia mau menjalankan shalat lima waktu.
Pertama, kita memberi ‘mandat’ kepada teman sekamarnya (kebetulan dia menyewa kamar berdua, beda denganku yang hanya sendirian saja menyewa satu kamar) untuk menyentilnya. Bagaimana caranya? Temanku—sebut saja namanya Jujuk—membaca Alquran dan terjemahannya keras-keras setelah shalat Maghrib di kamar agar teman yang tidak shalat itu—sebut saja namanya Eva—mendengarnya. Jujuk dengan sengaja memilih ayat-ayat Alquran (terjemahannya) dimana (konon, bagi yang mengimani) Allah berfirman agar manusia menjalankan shalat lima waktu dengan teratur. Kalau tidak nerakalah tempatnya, dibakar bersama segala bentuk jin dan setan, kekal di dalamnya. Tentu saja kita bermaksud agar Eva takut dengan siksaan api neraka itu jika tidak shalat, sehingga dia akan shalat.
Apa yang terjadi setelah itu? Eva memilih ngeluyur di ruang TV atau ruang tamu tatkala waktu shalat Maghrib tiba dan dirasanya Jujuk akan ‘menyindirnya’.
Tidak berhasil dengan cara tersebut, aku dan teman-teman menggunakan cara lain. Waktu Eva merayakan ulang tahun, kita mengumpulkan uang untuk membelikannya satu hadiah. Tepat di hari ulang tahunnya, kita ajak dia jalan-jalan ke Kaliurang, sambil membawa berbagai macam makanan dan minuman, kita mengadakan pesta kecil untuknya. Di tengah-tengah acara makan-makan dan nyanyi, tak lupa kita serahkan kado ultah untuk Eva. Eva nampak senang. Namun setelah dia buka kado itu, wajahnya nampak sedikit kesal dan kecewa. Isinya: mukena dan sajadah!
Setelah balik ke kos, dia sempat komplain ke Jujuk, “Kenapa sih teman-teman kok gitu? Sudah tahu aku tidak shalat aku diberi mukena dan sajadah? Mubazir kan? Mending juga aku ga usah diberi apa-apa aku ga bakal tersinggung.”
Aku sudah lupa apa yang dikatakan Jujuk kepadanya.
Beberapa bulan kemudian, tatkala bulan Ramadhan datang untuk pertama kali kita menjalani puasa bersama di kos, aku dan teman-teman terheran-heran melihat Eva begitu antusias menyambut bulan Ramadhan. “Dia ga shalat, ngapain juga dia heboh begitu menyambut puasa?” pikir kita.
Ternyata Eva ikut menjalankan ibadah puasa bersama. Dia mengaku meskipun dia tidak shalat secara teratur, dia selalu menjalankan ibadah puasa, dan bolong hanya waktu dia sedang menstruasi saja. Wah! Jujuk sempat menegurnya dengan mengatakan, “Sia-sia saja puasamu kalau tidak dibarengi dengan shalat. Ibadah itu harus dijalankan bersama-sama, tidak bisa kamu memilih yang mana yang ingin kamu lakukan.”
Malamnya, tatkala kita rame-rame mau menghadiri shalat tarawih bersama di Gelanggang Mahasiswa UGM (waktu itu UGM belum punya masjid kampus yang megah itu, yang sekarang terletak di daerah Kuningan, sebelah Tenggara Fakultas Ilmu Budaya), ternyata Eva dengan malu-malu bilang dia ingin ikut bersama kita. Akhirnya mukena dan sajadah yang kita berikan kepadanya, dia pakai juga. LOL.
Beragama secara sosial, eh? Melakukan ritual agama karena tekanan sosial?
Satu tahun lalu, dalam rangka menyambut kedatangan bulan Ramadhan, aku menulis sebuah artikel untuk mengingat masa kecilku di bulan Ramadhan. Tatkala aku post tulisan itu di blog http://afemaleguest.blog.co.uk dimana kebanyakan pengunjung berasal dari Eropa, seorang teman blog bertanya, heran, “Why did you teach Angie to do such a foolish thing? To starve yourself/herself? What’s the point?” Jika aku menjawab, “Agar masuk surga, atau agar terhindar dari api neraka” tentu aku akan ditertawakan olehnya. LOL. Jawabanku adalah, “I live in Indonesia, where social pressures to do religious teachings are very big. Later after Angie grows up and can use her own common sense, I let her choose what she wants to do. I don’t want her to be judged irreligous or evil or ‘naughty’ by her friends. I am still worried if her mental is not strong yet with that. Let her follow the mainstream first.”
Temanku masih heran, namun dia tidak mendesakku untuk memberikan jawaban yang masuk akal buatnya. LOL.
Hal kedua yang kuingat berdasarkan kalimat “Sejarah agama adalah sejarah "kekafiran", yakni kekafiran terhadap kebiasaan yang ada pada suatu waktu.”
Aku teringat waktu kuliah di American Studies dan mempelajari sejarah awal ‘terbentuknya’ negara Amerika. Para imigran “pertama” adalah kaum yang konon disebut ‘The Pilgrim” yang menaiki kapal Mayflower di awal abad ke-17. Di antara kaum “The Pilgrim” itu ada sekolompok orang yang menamakan diri mereka kaum “Puritan” yang memegang peran sangat penting dalam pembentukan awal koloni-koloni yang berjumlah 13 itu. Kaum “Puritan” ini terpaksa meninggalkan tanah leluhurnya karena mereka merasa tidak bisa menjalankan agama yang mereka yakini dikarenakan raja Inggris yang sangat memaksakan agama yang dia anut untuk seluruh rakyat Inggris. Sejarah kaum Puritan ini bisa dikatakan sebagai sejarah “kekafiran” mereka terhadap agama yang diyakini oleh para penguasa Inggris di sekitar abad 16-17. Kediktatoran raja Inggris yang menganggap mereka sebagai Kaum Pembangkang/Pembelot atau “The Dissenter” membawa mereka ke the New Land yang “ditemukan” oleh Columbus beberapa abad sebelumnya. Kaum Puritan ini beralasan ingin mendapatkan kebebasan beragama sesuai dengan apa yang meraka yakini.
Setelah berimigrasi ke Amerika, sayangnya mereka pun melakukan hal yang sama dengan raja Inggris, yakni sewenang-wenang kepada mereka yang tidak meyakini agama yang sama dengan mereka. Tidak hanya kepada “penduduk asli” yang mereka sebut suku Indian, juga kepada para imigran lain yang tidak meingimani kepercayaan kaum Puritan, kaum Puritan ini bertindak persis dengan raja yang mereka benci.
Kembali ke topik utama tulisan ini “beragama secara sosial”, kapankah manusia akan bersikap dewasa terhadap agama yang mereka anut, tidak memaksakan kebenaran absolut yang mereka yakini kepada orang lain, dan menghormati agama orang lain, juga menghormati orang lain yang memilih untuk tidak melakukan ritual agama apapun.
-- Nana Podungge yang (pernah) relijius karena tekanan sosial, dan sekarang memilih menjadi sekuler karena ‘fatwa’ dari dalam hati sendiri –PT56 22.12 130907
Tidak ada komentar:
Posting Komentar