Ketika memposting Perempuan oh Perempuan di networking sebelah, aku mendapatkan link ini yang mengisahkan bahwa "Dutch women don't get depressed" yang merupakan parody "French women don't get fat". Untuk mencari padanan parodi ini, si penulis artikel, Jessica Olien, an American woman, menulis "American women don't get satisfaction?"
How can Dutch women not get depressed?
Judul link bahwa "WOMEN IN THE NETHERLANDS WORK LESS, HAVE LESSER TITLES AND A BIG GENDER PAY GAP, AND THEY LOVE IT" mungkin memberi bocoran sedikit mengapa perempuan-perempuan Belanda tidak stress.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: HOW? dan WHY?
Honestly, I still don't get it.
Perhatikan frasa "a big gender pay gap". Hal ini terjadi karena para perempuan lebih memilih bekerja paruh waktu (bukan karena hourly mereka dibayar lebih rendah) agar mereka bisa lebih menikmati hidup. Mereka bekerja di pagi hari, pulang jam 2 siang untuk ngopi di kafe bersama teman-teman atau pun melakukan hal-hal lain yang lebih bersifat fun, misal berolahraga, berkebun, and some other leisure stuff sembari tak lupa 'mengasihani' rekan-rekan kerja mereka yang laki-laki karena mau tidak mau harus bekerja sepanjang hari to make ends meet.
My own question is: are all those women married?
Karena jika mereka single, apalagi single parents, tentu mereka harus tetap mikir panjang lebar bagaimana memenuhi kebutuhan anak-anak yang tentu high cost di Belanda. Atau, kalau pun mereka single parents yang disebabkan divorced, their ex husbands masih wajib memberikan nafkah untuk anak-anak dimana jika mereka tidak mau membayar, mereka akan dipenjara.
Kira-kira parodi yang pas untuk perempuan Indonesia apa ya? "Indonesian women don't get treated well by their peers?"
Perempuan Indonesia jelas masih dibayar lebih rendah dari pada laki-laki, (posisi sama, latar belakang pendidikan sama, masa kerja sama). Atau, kalaupun dibayar sama, tatkala membayar pajak penghasilan, perempuan Indonesia -- whether they are single or married or single parents -- tetap dianggap single yang membuat mereka harus membayar pajak lebih tinggi dibandingkan their male colleagues dengan status pernikahan yang sama.
Meski ada peraturan bahwa ex husbands harus memberikan nafkah kepada anak-anak (plus mantan istri), namun dalam prakteknya masih banyak yang tidak mendapatkannya. Ketika melaporkan hal ini ke pengadilan, urusan berbelit-belit dan biayanya pun tidak murah.
How about the parody for Arabian women yah?
GL7 15.43 290311
How can Dutch women not get depressed?
Judul link bahwa "WOMEN IN THE NETHERLANDS WORK LESS, HAVE LESSER TITLES AND A BIG GENDER PAY GAP, AND THEY LOVE IT" mungkin memberi bocoran sedikit mengapa perempuan-perempuan Belanda tidak stress.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: HOW? dan WHY?
Honestly, I still don't get it.
Perhatikan frasa "a big gender pay gap". Hal ini terjadi karena para perempuan lebih memilih bekerja paruh waktu (bukan karena hourly mereka dibayar lebih rendah) agar mereka bisa lebih menikmati hidup. Mereka bekerja di pagi hari, pulang jam 2 siang untuk ngopi di kafe bersama teman-teman atau pun melakukan hal-hal lain yang lebih bersifat fun, misal berolahraga, berkebun, and some other leisure stuff sembari tak lupa 'mengasihani' rekan-rekan kerja mereka yang laki-laki karena mau tidak mau harus bekerja sepanjang hari to make ends meet.
My own question is: are all those women married?
Karena jika mereka single, apalagi single parents, tentu mereka harus tetap mikir panjang lebar bagaimana memenuhi kebutuhan anak-anak yang tentu high cost di Belanda. Atau, kalau pun mereka single parents yang disebabkan divorced, their ex husbands masih wajib memberikan nafkah untuk anak-anak dimana jika mereka tidak mau membayar, mereka akan dipenjara.
Kira-kira parodi yang pas untuk perempuan Indonesia apa ya? "Indonesian women don't get treated well by their peers?"
Perempuan Indonesia jelas masih dibayar lebih rendah dari pada laki-laki, (posisi sama, latar belakang pendidikan sama, masa kerja sama). Atau, kalaupun dibayar sama, tatkala membayar pajak penghasilan, perempuan Indonesia -- whether they are single or married or single parents -- tetap dianggap single yang membuat mereka harus membayar pajak lebih tinggi dibandingkan their male colleagues dengan status pernikahan yang sama.
Meski ada peraturan bahwa ex husbands harus memberikan nafkah kepada anak-anak (plus mantan istri), namun dalam prakteknya masih banyak yang tidak mendapatkannya. Ketika melaporkan hal ini ke pengadilan, urusan berbelit-belit dan biayanya pun tidak murah.
How about the parody for Arabian women yah?
GL7 15.43 290311
Tidak ada komentar:
Posting Komentar