Versi terjemahan dari tulisan saya di link ini.
Satu
tulisan lama saya, 14 tahun lalu, tentang seorang siswa SMA yang
mendapatkan pencerahan setelah ikut 'student exchange', tinggal di
Norway, satu negara yang penduduknya konon 85% atheist. Sementara Erik,
nama siswa itu, berasal dari sebuah keluarga Muslim yang sangat
relijius. Menurut saya, tulisan ini layak saya share mengikuti topik
radikalisme versus fundamentalisme. Erik ini berubah cukup radikal, dari
seseorang yang menganggap atheism adalah satu isme yang orang-orangnya
pasti hidup tanpa keteraturan karena mereka tidak memiliki pegangan
hidup -- baca agama/Tuhan. Setelah tinggal selama satu tahun di Norway,
cara pandangnya berubah 180%. Harapan saya, dia mampu mengajak
orang-orang yang hidup di sekitarnya turut mengubah cara pandangnya.
*********************
Hari
Sabtu 19 Juli 2008 saya diajak Yayasan Bina Antar Budaya Chapter
Semarang untuk ikut menghadiri acara ‘farewell and welcoming’.
‘Farewell’ berarti melepas siswa-siswa terpilih untuk berangkat keluar
negeri, sedangkan ‘welcoming’ berarti menyambut para siswa yang telah
menghabiskan sekian waktu (bervariasi dari 2 bulan hingga satu tahun) di
luar negeri. Acara ini diselenggarakan di Bandungan, tidak jauh dari
kota Semarang. Dalam perjalanan menuju Bandungan, saya bersama Erik,
satu siswa yang baru pulang dari Norwegia; Leo, seorang volunteer,
menyetir mobilnya, sementara mendengarkan saya ngobrol dengan Erik,
sambil kadang ikut mengajukan pertanyaan ke Erik atau memberi respons.
Dari sekian banyak pertanyaan, saya bertanya satu hal yang cukup krusial: agama.
“Bagaimana kehidupan relijiusitas di Norwegia, Erik?”
Ternyata
Erik sangat antusias menjawab pertanyaan saya itu. “Kalau tidak salah,
85% penduduk Norwegia itu atheist, Miss.” Jawabnya.
Kemudian dia berkisah …
Ayahnya
yang bekerja di Departemen Agama semula keberatan dia berangkat ke
Norwegia. Sebenarnya Erik sendiri sedikit menyesal karena dia berharap
dikirim ke Amerika, namun ternyata dia ‘mendapatkan’ Norwegia.
Mengetahui bahwa sebagian besar penduduk Norwegia atheist, orangtuanya
khawatir jika sepulang dari sana, Erik pun ketularan. Maka, mereka
mengajak Erik berkunjung ke satu saudara jauh yang kebetulan adalah
seorang ulama, yang bisa meramal apa yang akan terjadi di masa datang.
Untungnya, si ulama ini memberi lampu hijau untuk Erik berangkat.
“Jujur
saja, saya seperti ditampar ketika orangtua angkat saya di Norwegia
bilang, ‘Erik, kamu Muslim karena kamu lahir di Indonesia. Kami disini
‘non-believers’ karena kami lahir di Norwegia. Kami yakin jika kamu
lahir dan besar di Norwegia, kamu pun akan menjadi seperti kami:
non-believer. Demikian juga jika kami lahir dan besar di Indonesia,
kemungkinan besar kami pun akan menjadi Muslim karena di Indonesia,
Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh rakyatnya.”
“Pengalaman
saya yang seorang Muslim relijius di tengah-tengah orang ‘non believer’
mengajari saya sesuatu yang berkebalikan dari apa yang dulu saya
percaya: “Orang atheist bukan criminal. Apa yang dikatakan oleh
orang-orang bahwa para atheist memiliki kehidupan yang kacau karena
kehidupan mereka tidak ditata ajaran agama – missal shalat lima kali
sehari – jelas bukan gambaran yang benar. Kehidupan mereka baik-baik
saja, dan mereka orang-orang yang baik. Orangtua angkat saya tidak
mengenal saya sama sekali sebelum saya sampai disana, namun mereka
merawat saya dengan sangat baik, seolah-olah saya adalah anak mereka
sendiri. Tidak mengenal Tuhan dalam kehidupan mereka tidak berarti bahwa
mereka adalah orang yang tidak punya hati. Saya telah belajar tentang
satu hal yang benar-benar berbeda dari apa yang dulu diajarkan guru-guru
agama saya.”
Saya
berharap bahwa siswa-siwa lain lagi yang dikirim keluar negeri bersama
Erik (semuanya dari satu pondok pesantren di Sukoharjo) mengalami hal
yang mirip dengan Erik dan kemudian mendapatkan perspektif baru tentang
relijiusitas.
Semarang, July 2008
(saya terjemahkan hari Senin 25 April 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar