Di satu grup alumni yang saya
ikuti, ada dua tulisan yang berhubungan dengan 'wali nikah'.
Yang pertama ditulis oleh
seorang perempuan. Sebut saja namanya N. N dan ibunya ditinggal oleh ayahnya
sejak dia masih berada dalam kandungan ibunya, satu hal yang meninggalkan luka
yang begitu dalam pada sang ibu. 2 tahun setelah resmi bercerai, sang ibu
menikah lagi. Kali ini, ibu dan anak 'beruntung' karena laki-laki yang menjadi
'bapak sambung' menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Meski bisa dikatakan
cukup berbahagia di pernikahan yang kedua, sang ibu tidak mengizinkan anaknya
untuk menemui ayahnya karena luka masa lalu yang terlalu dalam.
Saat N akan menikah, mau tidak
mau akhirnya sang ibu membiarkan N menemui ayahnya. Dengan ditemani bapak
'sambung' N menemui ayah biologisnya untuk memintanya menjadi wali nikah.
Adalah satu keberkahan karena kedua laki-laki ini bisa berkomunikasi dengan
baik. Sang bapak sambung yang telah merawat dan membesarkan N dengan hati besar
melihat laki-laki lain yang telah menyakiti hati istrinya begitu dalam di waktu
yang dulu menikahkan anak perempuan yang pastinya dia sayangi sepenuh hati.
Setelah pernikahan ini, N
menjaga silaturahmi dengan ayah biologisnya dengan baik. Dia tidak menyebut
apakah sang ibu membiarkannya melakukan ini karena toh N sudah dewasa -- sudah
menikah -- atau akhirnya sang ibu menyadari bahwa no matter what, N berhak
bertemu dengan ayahnya. Konon, 'time heals all wounds'. Mungkin setelah
pernikahan N, luka hati sang ibu pun luruh.
Tulisan yang pertama ini memicu
seseorang lain menulis kisah yang mirip. Kisah pertama ditulis oleh si anak
perempuan, kisah kedua ditulis oleh sang 'ayah sambung'. Dia mengasuh seorang
bayi perempuan yang semula diasuh oleh mertuanya. Ibu si bayi meninggal saat si
bayi berumur 1,5 tahun. Sang ayah yang seorang pelaut, semula menyempatkan diri
menengok tiap 3 bulan. Namun, 2 tahun kemudian setelah menikah lagi, ga pernah
muncul lagi.
Y -- sang ayah sambung --
menyayangi dan membesarkan bayi perempuan itu dengan sepenuh hati. Saat si bayi
perempuan menjelma dewasa dan akan menikah, Y sangat berharap bisa menikahkan
si anak ini. Namun, ternyata harapannya tidak mudah menjadi kenyataan. KUA
memintanya untuk mencari sang ayah biologis anak angkatnya setelah tahu bahwa
masih ada kemungkinan ayah kandung si anak masih hidup dan bisa dihubungi.
Dalam perjalanan menjadi
dewasa, si anak angkat ternyata pernah berusaha untuk menemui ayah biologisnya.
Satu kali dia berangkat ke Surabaya setelah janjian untuk bertemu ayahnya.
Namun ternyata, sang ayah tidak menepati janji. Rindu sang anak terhadap sang
ayah biologis hanya bertepuk sebelah tangan.
******
Sekian tahun lalu, saya membaca
beberapa artikel di JURNAL PEREMPUAN membahas hal ini. Mengapa seorang anak
perempuan butuh ayahnya untuk menjadi wali nikah? Di zaman dahulu kala, kita
semua tahu hanya laki-laki yang diperbolehkan keluar rumah untuk bersekolah,
perempuan hanya tinggal di rumah. Karena dianggap lebih 'berpendidikan'
(dibanding perempuan) seorang laki-laki (dalam hal ini sang ayah) dianggap
lebih mampu untuk menganalisis apakah seorang laki-laki dipandang cukup mumpuni
untuk menikahi seorang anak perempuan (dibandingkan sang ibu).
Hal inilah yang menjadi salah
satu pijakan interpretasi ayat Alquran mengapa seorang perempuan membutuhkan
ayahnya untuk menjadi wali. Bagaimana dengan ayah sambung/tiri/angkat? Mungkin
seorang ayah non biologis dianggap tidak begitu memiliki ikatan emosional sebagus
ayah biologis karena darah yang mengalir di tubuh anak + ayah tidak sama.
Padahal kita tahu bahwa tidak semua laki-laki memiliki rasa tanggung jawab yang
sama. Ada laki-laki yang hanya hobi melepas sperma tanpa perlu merasa tanggung
jawab; ada laki-laki yang seperti Y atau ayah sambung N (dua kisah di atas)
yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi meski sang anak bukan anak
biologis.
Di zaman sekarang, telah banyak
perempuan yang memiliki pendidikan tinggi, yang mampu menggunakan nalar untuk
menilai hal-hal yang layak dan tidak layak dia lakukan. Dalam mazhab Hanafi,
ada interpretasi bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi pun layak menjadi
wali dirinya sendiri. Maka, seorang perempuan pun berhak menikah tanpa perlu
menghadirkan sang ayah biologis, apalagi jika sang ayah telah terlalu lama
menelantarkan sang anak.
Akankah ada re-interpretasi
'rukun nikah menurut agama Islam' di Indonesia?
PT56 13.51 27 Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar