diambil dari sini |
KONON, semakin
sedikit 'age gap' antara orangtua dengan anak, hubungan antar keduanya semakin
harmonis.
Di antara ayah dan
ibundaku, aku lebih 'akrab' dengan ibuku. Jika melihat pernyataan di atas, beda
usiaku dengan ibu 23 tahun (NOTE: aku ingat pada satu waktu ibuku sibuk
mengurus akta kelahirannya karena belum punya, dan tanggal 8 Agustus 1944 yang
beliau pilih itu bukan berdasarkan fakta bahwa beliau memang lahir tanggal itu,
tapi aku tidak begitu ingat mengapa tanggal itu dipilih.) sedangkan dengan
ayahku kita beda usia 33 tahun. Meskipun begitu, 'kenyataan' ini menurutku
bukanlah alasan yang tepat mengapa aku lebih akrab dengan ibu ketimbang dengan
ayah. Alasan yang kurasa tepat adalah karena ibu lebih sering di rumah, (she
was a housewife) hingga lebih intens kita berkomunikasi; ini selain
alasan-alasan lain seperti aku pernah dalam kandungan ibuku selama kurang lebih
9 bulan dan aku minum air susunya lho ya.
Kulihat kebanyakan
kawan-kawanku juga memiliki kedekatan yang lebih dengan ibunya ketimbang dengan
ayahnya. Maka aku super heran ketika duduk di bangku SMA seorang kawan sekelas
terlihat jauh lebih akrab dengan sang ayah ketimbang dengan sang ibu. Jika dia
tahu kedua orangtuanya terlibat satu pertengkaran, misalnya, dia terlihat
sangat memusuhi ibunya; dia selalu melihat bahwa sang ayah adalah 'korban' dari
pertengkaran itu, dan bukan pemicu. :)
Akan tetapi,
sedekat-dekatnya aku dengan ibuku, hubungan kita tidak seharmonis hubunganku
dengan Angie, anak semata wayangku. Belajar dari hubunganku dengan ibuku, aku
memperlakukan Angie berbeda dengan cara ibuku memperlakukanku dulu waktu aku
masih kecil. Dulu, banyak hal yang aku merasa lebih nyaman bercerita kepada
seorang kawan dari pada kepada ibuku, misal naksir cowo. Aku tidak ingin hal
ini terjadi antara aku dan Angie. Itu sebab aku mencoba semampuku membuat Angie
merasa nyaman dan aman bercerita tentang apa saja kepadaku. I want to be the
first person Angie talks to when she finds something she thinks she needs to
talk. Well, tentu saja akan ada momen-momen dimana Angie akan curhat kepada
kawannya karena aku sedang super sibuk (sibuk dolan maksudku, lol) namun akan
ada saatnya dia akan curhat hal itu kepadaku.
diambil dari sini |
Kebetulan salah
seorang kawan kerjaku sekarang seusia Angie, bahkan mereka dulu bersekolah di
sekolah yang sama, meski mereka dulu tidak berteman. Sebut saja kawan kerjaku
ini Y. ibunya ternyata berusia lebih muda dariku sekitar 3 tahun. Melihat
'sepak terjang' Y aku sempat heran karena nampak sekali dia kurang perhatian di
rumah sehingga selalu butuh perhatian di luar rumah. Pernikahan yang masih
seumur jagung dia gagalkan sendiri, kemudian terlihat grabbing any guy she
encounters in her life. Setelah kuselidiki (bukan) ala detektif, lol, kudapati
bahwa hubungannya dengan sang ibu tidak seharmonis hubunganku dengan Angie.
Hmmm … Dalam kasus ini, age gap yang sedikit antara Y dan ibunya tidak serta
merta berarti bahwa mereka memiliki komunikasi yang terbuka.
Aku menikah di usia
yang mungkin bisa dikategorikan (sangat) muda. Angie lahir sebelum usiaku genap
24 tahun. (well, di dekade
sembilanpuluhan usia segitu adalah usia yang sangat lumrah untuk menikah lah,
lol.) Di masa kini pun kulihat banyak kawan sekolah Angie yang sudah menikah di
usia yang sama dengan usiaku menikahi ayahnya Angie. Y memiliki anak di usia 24
tahun. Sementara Angie masih nampak nyaman-nyaman saja belum committed dengan
seorang laki-laki. Jika kawan-kawan sebayanya ada yang curhat ke Angie karena
mereka dikejar-kejar orangtuanya untuk segera menikah, Angie pendek saja
menjawab, "Lha gimana, ibuku ga pernah ngejar-ngejar aku harus segera
menikah kok." :) Sementara itu Angie sendiri sibuk memprotes mengapa
'mahar' itu diterjemahkan sebagai 'alat beli' dari pihak laki-laki ke
perempuan.
"Kata Ama,
(nenek-red) orang Jawa menyebutnya 'tukon' Sayang, memang pernikahan itu
sejenis proses jual beli. Jika dalam budaya patrilineal, si laki-laki membeli
perempuan, dalam budaya matrilineal si perempuan yang membeli yang laki-laki,
meski dalam prakteknya, si perempuan tetaplah pihak yang (bisa dianggap)
tertindas." kataku semalam.
Langsung kulihat
kegusaran di wajah Angie. "Angie ga mau hidup dalam status seperti
itu!" katanya. Hal ini langsung mengingatkanku pada Ayu Utami yang sempat
menghindari pernikahan selama puluhan tahun karena dalam UU Perkawinan di
Indonesia disebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga. Ayu akhirnya menikahi
Erik Prasetya setelah tidak mendapati ayat yang seksis seperti itu dalam Kitab
Injil. (Pengakuan Ayu dalam novel otobiografinya PENGAKUAN EKS SI PARASIT
LAJANG.)
Well, as far as I
remember, aku tidak pernah berhasil 'mencekoki' paham feminisme pada Angie
secara langsung, ga pernah berhasil membuatnya membaca buku-buku feminisme yang
aku koleksi. Namun mungkin buku-buku bacaan yang dia pilih sendiri memberinya
ide what kinda relationship a husband-wife should have; misal PRINCESS DIARY
karya Meg Cabot. (aha … aku sih yang memperkenalkan buku ini ke Angie, 16 tahun
yang lalu.) Namun jenis-jenis bacaannya
kian variatif dari tahun ke tahun.
Sampai saat ini, aku
tetap membebaskan Angie dari social pressure bahwa untuk membuat hidup
seseorang (kian) lengkap adalah dengan menikah plus punya anak. Dengan
kematangan psikologi yang dia memiliki, aku yakin Angie akan mampu memiliki
komunikasi yang terbuka dengan anaknya kelak.
LG 08.35
16-Oktober-2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar