Tulisan ini 'ter-trigger' oleh sebuah artikel di Jam Pelajaran Agama Supaya Ditambah.
Kebetulan tahun ajaran ini aku mendapat kepercayaan untuk mengampu mata pelajaran "Religious Studies" di kelas 11. (Aku menulis beberapa postingan di A Feminist Blog dalam English). Mengingat sekolah tempatku bekerja adalah sekolah internasional (bukan "SBI" yang singkatan Sekolah Berstandar Internasional) maka materinya pun berbeda dengan sekolah nasional. Untuk ini, aku diminta untuk mengunduh materi dari BBC ~ schools yang menyediakan lima macam agama untuk didiskusikan di kelas; yakni Christianity, Hindu, Islam, Judaism, dan Sikhism. Satu minggu, aku mendapatkan jatah 2 slot (2 x 45 menit).
Dari kelima siswa yang ada, mereka semua mendapatkan pelajaran agama Kristen di awal usia mereka dari orang tua masing-masing. Namun ada satu dari mereka yang kemudian mengaku menjadi 'agnostic'. Aku sendiri berlatar belakang dari agama Islam.
Yang biasa terjadi di kelas adalah diskusi yang lumayan menyenangkan, sharing pengalaman pribadi masing-masing selain juga pemahaman agama yang mereka yakini. Karena kebetulan kita berenam (5 siswa plus 1 guru, aku) hanya berasal dari dua jenis agama, kita biasa menghabiskan banyak waktu tatkala diskusi tentang agama Kristen dan Islam. Sedangkan di tiga agama yang lain, kita hanya membahas apa yang tertulis di modul. Bagiku pribadi sangat menarik tatkala membahas beberapa hal dalam agama Islam dengan berangkat dari apa yang tertulis di modul, karena tidak selalu aku setuju. Satu hal yang bisa menambah wawasanku adalah bagaimana memahami orang-orang BBC meramu materinya untuk kemudian menerbitkannya di website yang kusebut di atas. Aku yakin mereka yang menulis materi memiliki pengalaman beragama yang berbeda dari para guruku waktu duduk di bangku madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) atau pun orang tuaku, meski mungkin saja mereka beragama Islam.
Menggunakan aksioma 'tak kenal maka tak sayang' aku bisa mengatakan bahwa satu hal yang sangat kurasakan bermanfaat dari pengalaman mengampu lima jenis agama yang berbeda adalah meningkatkan rasa toleransi. Tentu saja kuharapkan siswa-siswiku juga mendapatkan hikmah yang sama. Hal ini mengingat 'perkembangan' (atau penurunan) toleransi keagamaan di Indonesia yang sangat menyedihkan tahun-tahun belakangan ini.
Meletakkan seluruh beban 'membentuk karakter' siswa kepada guru agama di sekolah tentulah tidak bijaksana, karena sebenarnya yang paling berpengaruh membentuk karakter seorang anak adalah orang tua. Sedangkan jika membincang tentang 'kualitas guru yang berkualitas dari sisi keilmuan dan keteladanan', aku rasa akan menjadi sangat baik lagi jika aparat pemerintah dan pemuka agama pun turut berperan serta.
Nana Podungge
PT56 22.35 14.01.11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar