Jumat, Juni 25, 2010
Agama
(Catatan tercecer dari berlibur ke Jogja. #2)
Cerita masih berkisar tentang sobatku itu, plus sang PRT.
Tatkala sang PRT curhat kepada temanku tentang kegundahan hatinya karena masih jomblo, temanku bercerita tentang seorang sepupunya. Sang sepupu dulu ketika masih jomblo – usianya menjelang angka tigapuluh – melakukan beberapa ‘usaha’. Pertama, melaksanakan shalat tahajjud dengan rajin. Kedua, puasa sunnah Senin - Kamis. Ketiga, mengurangi jam tidur malam, ditambah dengan tidur hanya di atas lantai beralaskan tikar.
Hasilnya: AJAIB. Dia mendapatkan seorang suami yang sangat ‘sempurna’, financially established, dan sangat sayang plus perhatian.
Sang PRT yang kurang memiliki latar belakang pendidikan yang baik – baik pendidikan formal maupun pendidikan agama – tidak tahu bagaimana cara melakukan shalat tahajjud. Maka dia pun bertanya kepada sang majikan – temanku. Masalah timbul di sini karena sobatku ini beragama Katholik yang tidak tahu menahu tentang ajaran Islam. Namun karena semangat ingin membantu sang PRT, maka temanku ini bertanya kepada salah satu orangtua teman sekolah anaknya yang kebetulan beragama Islam. (FYI, anaknya bersekolah di sebuah sekolah swasta dimana para siswanya jarang beragama Islam.) Si teman yang baik hati meminjaminya buku yang kemudian dia fotocopy dan dia berikan kepada sang PRT.
Kisah merembet ke pengalaman sang PRT ketika pulang kampung. Orang-orang di desanya tidak habis pikir bagaimana sang PRT kerasan bekerja kepada seorang majikan yang beragama beda. Mereka pun ternyata su’udhon tanpa alasan jelas. Misalnya mereka bertanya:
“Teh, majikanmu kan beragama Katholik? Memangnya kamu ga disuruh pindah ke agamanya? Biasanya kan begitu toh? Jika sang majikan beragama non Muslim, dia biasanya akan menyuruh pekerjanya untuk pindah agama.”
Sang teteh pun terkaget-kaget karena dia mengenal sang majikan tidak begitu. Meski beragama berbeda, sang teteh mengenal sang majikan sebagai seseorang yang menghormati kepercayaannya. Bahkan di malam-malam bulan Ramadhan, sang majikan lah yang mendorongnya untuk berangkat ke masjid untuk shalat tarawih bersama umat Islam lain. Temanku pun berkata, “Siapa tahu nanti di masjid teteh bisa bertemu dan berkenalan dengan laki-laki yang naksir teteh.” Ini tentu karena temanku melihat sang teteh tidak begitu banyak bergaul karena hampir sepanjang hari sepanjang minggu dia berada di rumah, mengerjakan tugas-tugasnya sebagai PRT.
Aku tidak akan mengakhiri tulisan ini dengan sebuah kesimpulan. Selain satu hal: stereotyping – apalagi dalam hal agama/spiritualitas – tetaplah merupakan satu hal yang tidak pada tempatnya dilakukan. Pluralisme adalah satu keniscayaan.
PT56 17.33 250610
Tidak ada komentar:
Posting Komentar