Senin, Mei 18, 2009
Kuliah
Beberapa tahun yang lalu, di salah satu buku yang dipakai untuk bahan belajar di tempat kerjaku ada sebuah kasus yang cukup menarik untuk bahan diskusi: seorang perempuan yang ‘pursue’ pendidikannya di college di usia yang tidak bisa dikatakan masih muda—let’s say middle-aged. Dia tidak malu dengan ‘usianya yang tak lagi muda’ dan statusnya sebagai seorang perempuan yang sudah menikah. Apalagi suami dan anak-anaknya mendukungnya. Latar belakang: dia adalah (‘hanya’) seorang ibu rumah tangga.
Mengingat topik pembahasan utama adalah pendidikan dan jenis ‘learner’ (someone is either a visual learner, an audio learner, or a kinesthetic learner, or a combination of those three kinds of learner), maka diskusi tidak pernah melebar ke pembahasan gender. And I was not a feminist yet at that time. :)
Sampai saat ini yang masih kuingat dari sekian banyak diskusi di kelas adalah kata-kata seorang siswa, a guy, still single, but already an employee, perhaps he was around thirty. “What is the point of this woman to pursue her study if after that she just would stay home and continue being a housewife? I am of opinion that she just wastes her time, energy, as well as her husband’s money.”
Nampaknya ide ‘self-actualization’ bagi seorang perempuan belum bisa dia pahami. Self-actualization bagi seorang perempuan tidak melulu hanya bisa dicapai dari melakukan hal-hal yang ‘feminin’ such as memasak, menjahit, dan mungkin berkebun. Belajar di sekolah—apalagi di perguruan tinggi—tentulah bersifat ‘maskulin’ mengingat pada satu waktu seorang Kartini dan Dewi Sartika merasa perlu mendirikan sekolah khusus untuk perempuan karena sekolah yang ada pada waktu itu tidak bersahabat dengan perempuan.
Dan tentu menurut Abraham Maslow, kebutuhan memenuhi ‘self-actualization’ tidak hanya milik laki-laki saja; perempuan juga perlu menggapainya.
***
Tatkala aku berhadapan dengan beberapa mahasiswa yang ‘usianya sudah tidak muda lagi’ (baca -> above thirty years old), aku tengarai kebanyakan dari mereka adalah employees. Alasannya tentu jelas: kenaikan jenjang karier mereka. Yang aku sedihkan adalah: nampak jelas bahwa whether they grasp the new knowledge they get is not important for them.
Beberapa minggu yang lalu, seorang mahasiswaku bilang, “Ms. Nana, saya kan rajin datang ke kelas. Nanti kalau hasil test saya jelek, kehadiran saya di kelas bisa menaikkan nilai saya ga?”
Aku tengarai she is above fifty years old. Latar belakangnya: dia seorang pegawai sebuah bank swasta. Her English is not really good, sehingga bisa dipastikan dia harus bekerja keras untuk memahami aku yang berbicara menggunakan Bahasa Inggris melulu. Tambah lagi, mata kuliah yang kuajar sering dianggap sulit bagi mahasiswa: ‘Telaah Drama’ dan ‘Telaah Puisi’.
Tentu aku bukan seorang heartless teacher, meskipun aku sedih mendengarnya. I did appreciate her frankness, though. Aku ingin para mahasiswaku mendapatkan nilai bagus karena memang mereka paham, bukan karena belas kasihan. :(
***
Aku masih menunggu hadirnya seorang mahasiswa yang kuliah karena mereka mencintai ilmu pengetahuan.
PT56 22.12 160509
ini mbak yu aku datang, student yang haus sekali sama ilmu..
BalasHapusNice posting mbak Nana. Saya setuju, bila seseorang berada di ruang kelas belajar/ruang kuliah, seharusnya niatnya adalah menambah pengetahuan. Selain itu niat utama itu tentunya boleh2 saja dia punya niat lain, misal juga untuk kenaikan karir, dsb.
BalasHapusTo JengSri:
BalasHapuswelcome back blogging, Jeng. Many people love you here. :)
To mbak Elly:
Thank you for the supportive comment. :)
wah, tulisan mbak makin lama semakin berbobot aja, btw..aku selalu ikutan kontes blog baik kontes review, kontes seo atau yg lain semata2 tuk motivasi ngeblog, mbak...dengan demikian aku jd terpacu tuk terus semangat ngeblog yg nyaris hilang, menilai gaya dan kwalitas artikel postingan mbak ada baiknya diikutin juga dalam kontes blog biar tambah semangat...hehehe, okay...sukse yah. Oh, yah..banyak kontes seo loh liatnya aja di http://maskaryo.info/kontes-seo-menantang-anda
BalasHapus